English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Rabu, 28 Desember 2016

0
Peran Zending Dalam Perang Toba (3)


Para Penginjil di Tanah Batak
Siapa para misionaris itu dan mengapa mereka begitu mudah diperalat oleh tentara kolonial?

Para misonaris RMG percaya bahwa bangsa-bangsa di Asia dan Afrika harus dibebaskan dari belegu “kekafiran” dan “kebarbaran”. Sebagai penganut aliran pietisme mereka berkeyakinan bahwa tidak lama lagi Yesus Kristus akan bangkit kembali dan bahwa mereka memiliki tugas untuk menyelamatkan jiwa-jiwa yang sesat. Seperti Aritonang (1988)menunjukkan dalam bukunya Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak maka perjumpaan orang Batak dengan para misionaris bukanlah sebuah perjumpaan antara dua pihak yang sederajat. Para misionaris RMG adalah anak zamannya yang percaya pada keunggulan peradaban Eropa, dan pada keunggulan ras putih.

Johannes beserta enam penginjil tahun 1889

Pada tahun 1878, ketika Silindung dan Toba dianeksi dalam Perang Toba I, ada enam penginjil di Silindung –Johannsen, Metzler, Mohri, Nommensen, Püse, dan Simoneit.
Yang paling tua adalah Nommensen yang ketika itu berumur 43 tahun
sementara yang paling muda, Metzler, berumur 30 tahun. Pada waktu mereka mulai pendidikannya untuk menjadi misionaris di seminaris RMG di Barmen, mereka berusia antara 21 (Johannsen) dan 26 tahun (Mohri dan Püse). Sesuai dengan kebiasaan di RMG mereka segera berangkat ke tempat tujuannya setelah mereka tamat seminaris di Barmen dan menerima ordinasi yang hanya berlaku untuk penginjilan pada bangsa non-Kristen. Ketika keenam misionaris itu untuk pertama kali menginjak Tanah Batak mereka berusia antara 26 dan 32 tahun, dan mereka semua belum kawin. Keputusan untuk menjadi seorang misionaris berarti bahwa mereka akan memasuki kehidupan yang serba berbeda. Rata-rata para misionaris RMG berkebangsaan Jerman yang berangkat ke Sumatra antara 1861 dan 1875 berada di Tanah Batak selama 30 tahun. Mereka memang diharapkan untuk tetap berada di tempat tujuan hingga mencapai usia pensiun. Satu-
satunya misionaris yang dipanggil kembali adalah August Wilhelm Schreiber (sen.) yang dibutuhkan sebagai guru di seminaris Barmen12
Misionaris yang paling lama tinggal di Tanah Batak adalah L.I. Nommensen yang berdiam di Tanah Batak selama 57 tahun, diikuti oleh M. Metzler (49 tahun), A. Mohri (40 tahun), J. Christiansen, serta P. Johannsen (33 tahun). Empat dari 13 misionaris itu malahan menetap di Tanah Batak hingga mereka meninggal. Johannsen meninggal di Pansur na Pitu pada usia 59 tahun,12

Schreiber hanya tujuhtahun menjadi misionaris (18671873) di Prau Sorat.
Mohri di Purba pada usia 72 tahun, Nommensen di Sigumpar pada usia 84 tahun, dan Staudte di Sipirok pada usia 39 tahun. Jadi kebanyakan misionaris memilih masa pensiun di Jerman, tetapi ada juga di antaranya, seperti Nommensen, dan Mohri yang memutuskan untuk tidak kembali ke tanah airnya. Ada pula misionaris yang masih tetap bertugas hingga mencapai usia pensiun dan baru kembali keJerman pada usia yang sudah lanjut. Ch. Schütz misalnya baru kembali ke Jerman pada usia 74 tahun, dan W. Metzler masih bertugas di Pearaja hingga mencapai umur 78 tahun.
Mohri

Para misionaris diperbolehkan untuk sekali-sekali pulang ke tanah airnya. Nommensen misalnya empat kali kembali ke Jerman (tahun 1880-81, 1892, 1905, dan 1912) sementara Johannsen, Mohri, dan Simoneit hanya sekali dalam 30 tahun lebih mengambil cuti ke Jerman.
Setelah diutus ke masing-masing wilayah kerjanya para misionaris diwajibkan untuk senantiasa patuh pada pimpinan RMG. Pada semua keputusan yang penting (misalnya meminjam uang, memindahkan lokasi pos penginjilan) para misionaris tidak hanya memerlukan persetujuan daripada misionaris lainnya di wilayah kerjanya tetapi mereka juga membutuhkan izin tertulis dari pimpinan RMG. Mereka yang tidak mematuhi peraturan ini segera diberhentikan.

Tabel 1Data Misionaris RMG 1861–1878


A
B
C
D
E
Asselt, Gerrit von

Betz, Friedrich Wilhelm

Christiansen, Julius

Heine, Carl Wilhelm

Johannsen, Peter

Klammer, Johann

Leipoldt, Christian

Metzler, Wilhelm

Mohri, August

Nommensen, I.L.

Püse, Heinrich

Schreiber, August

Schütz, Christian

Simoneit, August

Staudte, Friedrich
1832

1832

1844

1833

1839

1826

1844

1847

1835

1834

1842

1839

1838

1842

1845
1856

1860

1871

1860

1865

1855

1869

1875

1867

1861

1874

1866

1867

1873

1873
1862

1858

1879

1866

1970

1861

1874

1877

1871

1866

1882

1866

1870

1882

1877

1875

1869

1906

1873



1883

1879

1924





1905

1873

1912

1886


1910

1881

1934

1897

1898

1919

1911

1935

1907

1918

1920

1903

1922

1886

1884

A Tahun Kelahiran, B Tahun Keberangkatan ke Sumatra, C Tahun Perkawinan, D Tahun Kepulangan, E Tahun Kematian

Peraturan yang berkaitan dengan mencari teman hidup sangat ketat bagi para misionaris. Apabila seorang seminaris bertunangan sebelum tamat maka ia harus segera meninggalkan seminaris. Karena para penginjil biasanya segera sesudah tamat dikirim ke luar negeri dan berada di wilayah kerjanya selama bertahun-tahun maka mereka tidak sempat untuk memilih teman hidup sendiri. Oleh sebab itu maka pilihan calon istri menjadi tugas pimpinan RMG. Istri Mohri, misalnya, berangkat dari Jerman pada akhir tahun 1869 bersama dengan tiga perempuan pilihan RMG lain yang ditentukan bagi tiga penginjil di Borneo. Mereka satu rombongan dengan penginjil Zimmer dan istri Zimmer ditunjuk untuk menjaga ketiga calon istri itu. Setiba di Batavia calon istri Mohri naik kapal ke Padang, dan lalu ke Sibolga untuk bertemu dengan penginjil Mohri. Perkawinan di antara kedua pengantin yang belum pernah bertemu sebelumnya dilaksanakan pada 22 Februari 1870, dan pada 10 Maret ketiga perempuanlainnya dikawinkan dengan ketiga penginjil di Kuala Kapuas. Februari 1871 Johannsen menjemput istrinya di Sibolga.

Para misionaris memperoleh istri pilihan pimpinan RMG rata-rata lima tahun setelah mulai menetap di Sumatra. Hal itu sesuai dengan peraturan RMG yang mengharuskan para penginjil menunggu minimal dua atau bahkan lima tahun sebelum diperbolehkan kawin. Metzler mendapatkan pasangan hidupnya setelah hanya dua tahun bertugas, tetapi kebanyakan misonaris harus menunggu sampai lima, dan penginjil Püse dan Simoneit malahan tujuh dan sembilan tahun.

 

Püse

          Para calon istri misionaris juga belajar di RMG namun pendidikannya berfokus pada keterampilan seperti memasak dan menjahit sementara pendidikan teologi sangat kurang. 
          Terutama menjahit dan menyanyi dilihatsebagai wahana penginjilan yang efektif. Kehidupan para istri misionaris cukup susah karena ruangan gerak mereka sangat terbatas, dan mereka malahan hanya diizinkan mengasuh anaknya hingga usia sekolah dasar karena untuk pendidikan sekolah anak-anak misionaris dikirim ke Jerman untuk diasuh pihak RMG.
          Mengingat bahwa para misionaris tiba di Tanah Batak sebagai bujangan berumur 20an tahun maka seharusnya ada paling tidak beberapa di antara misionaris itu yang memperistri seorang perempuan Batak. Ternyata hal itu tidak pernah terjadi, tidak di zamannya Nommensen dan juga tidak di kemudian hari. Dari lebih dari seratus penginjil yang diutus RMG ke Tanah Batak tidak seorang pun yang memperistri seorang boruBatak.

Setahu kami tidak pernah ada peraturan yang melarang perkawinan seorang penginjil dengan seorang gadis pribumi, namun ada semacam perjanjian tidak tertulis bahwa hal itu takkan boleh terjadi. Kendati demikian asmara tidak senantiasa terbendung, dan pada bulan November tahun 1900 Wilhelm Müller yang menjadi penginjil Norddeutsche Missions-Gesellschaft di Togo pada November 1900 mengajukan permohonan kepada atasannya untuk mengawini seorang gadis Kristen dari suku Ewe. August Wilhelm Schreiber (jun.) menerima permintaan tersebut dan meneruskannya kepada dewan NMG yang harus memutuskannya.
Pada surat tersebut Schreiber membubuhkan catatan: “Saya telah memberitahu penginjil Schreiber bahwa saya tidak pernah akan menyetujui perkawinan antara seorang penginjil dengan seorang Negro.” Permohonan Müller ditolak dan Müller meninggalkan zending NMG yang merupakan salah satu badan zending yang progresif pada waktu itu. Perkawinan dengan seorang pribumi dikhawatirkan bisa menjadi isyarat bahwa masyarakat pribumi dan penginjil sederajat, dan hal itu harus dihindari. Kejadian serupa terulang pada tahun 1914 ketika penginjil Karl Frank meminta persetujuan NMG untuk mengawini seorang gadis Kristen Ewe. Permintaan ini pun ditolak dan hubungan kerja dengan penginjil Frank diputuskan (Altena 2003:148-149).

Simoneit


Para penginjil senantiasa disadari bahwa dana RMG berasal dari sumbangan para pendukung dan oleh karena itu mereka diharapkan untuk hidup lebih sederhana daripada penginjil dari serikat penginjilan lainnya. Kebanyakan penginjil bagaimana pun sudah terbiasa hidup dalam kesederhanaan. Latar belakang sosial mereka sangat bersahaja. Nommensen misalnya berasal dari sebuah keluarga yang miskin di Nordstrand –sebuah kampung kecil dan terbelakang di daerah Schleswig yang pada tahun kelahiran Nommensen masih menjadi wilayah Denmark “Saya anak dari orang tua miskin dan sakit-sakitan yang dibesarkan dengan roti tanpa isi, hanya pakai garam, dengan kacang dan sup arcis, kentang tanpa lauk, dan bubur gandum”13. Ketika berumur tujuh tahun Nommensen memilih menggembala angsa daripada duduk di bangku sekolah, pada usia delapan ia menjadi penggembala kambing, pada usia sembilan ia belajar menjadi tukang atap, pada umur sepuluh ia menjadi tukang kuda, pada usia sebelas tahun ia menjadi buruh tani, dan sebelum masuk seminaris RMG ia sempat menjadi guru bantu. Leipoldt dan Christiansen, teman Nommensen dari Nordstrand, juga sempat menjadi guru bantu. Metzler menjadi Lohgerber(tukang yang mengolah kulit binatang), Mohri menjadi Eisenfabrikarbeiter  (buruh pabrik besi), Püse menjadi Zimmermann(tukang bangunan), Klammer dan Simoneit menjadi Schreiner(tukang kayu), Schütz
            .............................
13Ich war ein Junge armer, kränklicher Eltern, der bei trockenem Brot und Salz, Pferdebohnen und Erbsensuppe, trockenen Karthoffen und Roggenmehlbrei groß geworden. (Warneck 1950:9


menjadi Anstreicher(tukang cat), Staudte menjadi Drechsler(tukang kayu), dan Heine menjadi Bauer(petani). Hanya satu di antara keenam penginjil di Silindung, Johannsen, menjadi guru sekolah sebelum masuk seminaris RMG. Betapa susah pun dari segi kenyamanan dan materi kehidupan para misionaris, dibandingkan dengan kehidupan di Jerman status sosial mereka di Sumatra jauh lebih tinggi.14(Angerler 1993:56–57)

August Schreiber berbed a dari semua misionaris lainnya karena hanya ia sendiri yang berpendidikan tinggi. Schreiber juga bukan tamatan seminaris di Barmen melainkan tamatan universitas dengan gelar doktor teologi. Dr. Schreiber menjadi guru di seminaris di Barmen antara tahun 1865-1866 dan 1873-1884 dan mulai tahun 1884 hingga tahun 1903 ia menjadi Inspektor (direktur) RMG

0 komentar:

Posting Komentar

 
TtuaPardede | © 2010 by DheTemplate.com | Supported by Promotions And Coupons Shopping & WordPress Theme 2 Blog