Para
Penginjil di Tanah Batak
Siapa para
misionaris itu dan mengapa mereka begitu mudah diperalat oleh tentara kolonial?
Para
misonaris RMG percaya bahwa bangsa-bangsa di Asia dan Afrika harus dibebaskan
dari belegu “kekafiran” dan “kebarbaran”. Sebagai penganut aliran pietisme
mereka berkeyakinan bahwa tidak lama lagi Yesus Kristus akan bangkit kembali
dan bahwa mereka memiliki tugas untuk menyelamatkan jiwa-jiwa yang sesat.
Seperti Aritonang (1988)menunjukkan dalam bukunya Sejarah Pendidikan Kristen di
Tanah Batak maka perjumpaan orang Batak dengan para misionaris bukanlah sebuah
perjumpaan antara dua pihak yang sederajat. Para misionaris RMG adalah anak
zamannya yang percaya pada keunggulan peradaban Eropa, dan pada keunggulan ras
putih.
Johannes beserta enam penginjil tahun 1889
Pada tahun
1878, ketika Silindung dan Toba dianeksi dalam Perang Toba I, ada enam
penginjil di Silindung –Johannsen,
Metzler, Mohri, Nommensen, Püse, dan Simoneit.
Yang paling
tua adalah Nommensen yang ketika itu berumur 43 tahun
sementara
yang paling muda, Metzler, berumur 30 tahun. Pada waktu mereka mulai
pendidikannya untuk menjadi misionaris di seminaris RMG di Barmen, mereka
berusia antara 21 (Johannsen) dan 26 tahun (Mohri dan Püse). Sesuai dengan
kebiasaan di RMG mereka segera berangkat ke tempat tujuannya setelah mereka
tamat seminaris di Barmen dan menerima ordinasi yang hanya berlaku untuk
penginjilan pada bangsa non-Kristen. Ketika keenam misionaris itu untuk pertama kali
menginjak Tanah Batak mereka berusia antara 26 dan 32 tahun, dan mereka semua
belum kawin. Keputusan untuk menjadi seorang misionaris berarti bahwa mereka
akan memasuki kehidupan yang serba berbeda. Rata-rata para misionaris RMG
berkebangsaan Jerman yang berangkat ke Sumatra antara 1861 dan 1875 berada di Tanah
Batak selama 30 tahun. Mereka memang diharapkan untuk tetap berada di tempat
tujuan hingga mencapai usia pensiun. Satu-
satunya
misionaris yang dipanggil kembali adalah August Wilhelm Schreiber (sen.) yang
dibutuhkan sebagai guru di seminaris Barmen12
Misionaris
yang paling lama tinggal di Tanah Batak adalah L.I. Nommensen yang berdiam di
Tanah Batak selama 57 tahun, diikuti oleh M. Metzler (49 tahun), A. Mohri (40
tahun), J. Christiansen, serta P. Johannsen (33 tahun). Empat dari 13
misionaris itu malahan menetap di Tanah Batak hingga mereka meninggal.
Johannsen meninggal di Pansur na Pitu pada usia 59 tahun,12
Schreiber
hanya tujuhtahun menjadi misionaris (18671873) di Prau Sorat.
Mohri di
Purba pada usia 72 tahun, Nommensen di Sigumpar pada usia 84 tahun, dan Staudte
di Sipirok pada usia 39 tahun. Jadi kebanyakan misionaris memilih masa pensiun
di Jerman, tetapi ada juga di antaranya, seperti Nommensen, dan Mohri yang
memutuskan untuk tidak kembali ke tanah airnya. Ada pula misionaris yang masih
tetap bertugas hingga mencapai usia pensiun dan baru kembali keJerman pada
usia yang sudah lanjut. Ch. Schütz misalnya baru kembali ke Jerman pada usia 74
tahun, dan W. Metzler masih bertugas di Pearaja hingga mencapai umur 78 tahun.
Mohri
Para
misionaris diperbolehkan untuk sekali-sekali pulang ke tanah airnya. Nommensen
misalnya empat kali kembali ke Jerman (tahun 1880-81, 1892, 1905, dan 1912)
sementara Johannsen, Mohri, dan Simoneit hanya sekali dalam 30 tahun lebih
mengambil cuti ke Jerman.
Setelah
diutus ke masing-masing wilayah kerjanya para misionaris diwajibkan untuk
senantiasa patuh pada pimpinan RMG. Pada semua keputusan yang penting (misalnya
meminjam uang, memindahkan lokasi pos penginjilan) para misionaris tidak hanya
memerlukan persetujuan daripada misionaris lainnya di wilayah kerjanya tetapi
mereka juga membutuhkan izin tertulis dari pimpinan RMG. Mereka yang tidak
mematuhi peraturan ini segera diberhentikan.
Tabel 1Data
Misionaris RMG 1861–1878
|
A
|
B
|
C
|
D
|
E
|
Asselt, Gerrit von
Betz, Friedrich Wilhelm
Christiansen, Julius
Heine, Carl Wilhelm
Johannsen, Peter
Klammer, Johann
Leipoldt, Christian
Metzler, Wilhelm
Mohri, August
Nommensen, I.L.
Püse, Heinrich
Schreiber, August
Schütz, Christian
Simoneit, August
Staudte, Friedrich
|
1832
1832
1844
1833
1839
1826
1844
1847
1835
1834
1842
1839
1838
1842
1845
|
1856
1860
1871
1860
1865
1855
1869
1875
1867
1861
1874
1866
1867
1873
1873
|
1862
1858
1879
1866
1970
1861
1874
1877
1871
1866
1882
1866
1870
1882
1877
|
1875
1869
1906
1873
1883
1879
1924
1905
1873
1912
1886
|
1910
1881
1934
1897
1898
1919
1911
1935
1907
1918
1920
1903
1922
1886
1884
|
A Tahun Kelahiran, B Tahun
Keberangkatan ke Sumatra, C Tahun Perkawinan, D Tahun Kepulangan, E Tahun
Kematian
Peraturan
yang berkaitan dengan mencari teman hidup sangat ketat bagi para misionaris.
Apabila seorang seminaris bertunangan sebelum tamat maka ia harus segera
meninggalkan seminaris. Karena para penginjil biasanya segera sesudah tamat dikirim
ke luar negeri dan berada di wilayah kerjanya selama bertahun-tahun maka mereka
tidak sempat untuk memilih teman hidup sendiri. Oleh sebab itu maka pilihan
calon istri menjadi tugas pimpinan RMG. Istri Mohri, misalnya, berangkat dari
Jerman pada akhir tahun 1869 bersama dengan tiga perempuan pilihan RMG lain
yang ditentukan bagi tiga penginjil di Borneo. Mereka satu rombongan dengan
penginjil Zimmer dan istri Zimmer ditunjuk untuk menjaga ketiga calon istri
itu. Setiba di
Batavia calon istri Mohri naik kapal ke Padang, dan lalu ke Sibolga untuk
bertemu dengan penginjil Mohri. Perkawinan di antara kedua pengantin yang belum
pernah bertemu sebelumnya dilaksanakan pada 22 Februari 1870, dan pada 10 Maret
ketiga perempuanlainnya dikawinkan dengan ketiga penginjil di Kuala Kapuas.
Februari 1871 Johannsen menjemput istrinya di Sibolga.
Para
misionaris memperoleh istri pilihan pimpinan RMG rata-rata lima tahun setelah
mulai menetap di Sumatra. Hal itu sesuai dengan peraturan RMG yang mengharuskan
para penginjil menunggu minimal dua atau bahkan lima tahun sebelum
diperbolehkan kawin. Metzler mendapatkan pasangan hidupnya setelah hanya dua
tahun bertugas, tetapi kebanyakan misonaris harus menunggu sampai lima, dan
penginjil Püse dan Simoneit malahan tujuh dan sembilan tahun.
Püse
Para calon
istri misionaris juga belajar di RMG namun pendidikannya berfokus pada
keterampilan seperti memasak dan menjahit sementara pendidikan teologi sangat
kurang.
Terutama menjahit dan menyanyi dilihatsebagai wahana penginjilan yang
efektif. Kehidupan para istri misionaris cukup susah karena ruangan gerak
mereka sangat terbatas, dan mereka malahan hanya diizinkan mengasuh
anaknya hingga usia sekolah dasar karena untuk pendidikan sekolah anak-anak
misionaris dikirim ke Jerman untuk diasuh pihak RMG.
Mengingat
bahwa para misionaris tiba di Tanah Batak sebagai bujangan berumur 20an tahun
maka seharusnya ada paling tidak beberapa di antara misionaris itu yang
memperistri seorang perempuan Batak. Ternyata hal itu tidak pernah terjadi, tidak
di zamannya Nommensen dan juga tidak di kemudian hari. Dari lebih dari seratus
penginjil yang diutus RMG ke Tanah Batak tidak seorang pun yang memperistri
seorang boruBatak.
Setahu kami
tidak pernah ada peraturan yang melarang perkawinan seorang penginjil dengan
seorang gadis pribumi, namun ada semacam perjanjian tidak tertulis bahwa hal
itu takkan boleh terjadi. Kendati demikian asmara tidak senantiasa terbendung,
dan pada bulan November tahun 1900 Wilhelm Müller yang menjadi penginjil
Norddeutsche Missions-Gesellschaft di Togo pada November 1900 mengajukan
permohonan kepada atasannya untuk mengawini seorang gadis Kristen dari suku
Ewe. August Wilhelm Schreiber (jun.) menerima permintaan tersebut dan
meneruskannya kepada dewan NMG yang harus memutuskannya.
Pada surat
tersebut Schreiber membubuhkan catatan: “Saya telah memberitahu penginjil
Schreiber bahwa saya tidak pernah akan menyetujui perkawinan antara seorang
penginjil dengan seorang Negro.” Permohonan Müller ditolak dan Müller
meninggalkan zending NMG yang merupakan salah satu badan zending yang progresif
pada waktu itu. Perkawinan dengan seorang pribumi dikhawatirkan bisa menjadi
isyarat bahwa masyarakat pribumi dan penginjil sederajat, dan hal itu harus
dihindari. Kejadian serupa terulang pada tahun 1914 ketika penginjil Karl Frank
meminta persetujuan NMG untuk mengawini seorang gadis Kristen Ewe. Permintaan
ini pun ditolak dan hubungan kerja dengan penginjil Frank diputuskan (Altena
2003:148-149).
Simoneit
Para
penginjil senantiasa disadari bahwa dana RMG berasal dari sumbangan para
pendukung dan oleh karena itu mereka diharapkan untuk hidup lebih sederhana
daripada penginjil dari serikat penginjilan lainnya. Kebanyakan penginjil
bagaimana pun sudah terbiasa hidup dalam kesederhanaan. Latar belakang sosial
mereka sangat bersahaja. Nommensen misalnya berasal dari sebuah keluarga yang
miskin di Nordstrand –sebuah kampung kecil dan terbelakang di daerah Schleswig
yang pada tahun kelahiran Nommensen masih menjadi wilayah Denmark “Saya anak
dari orang tua miskin dan sakit-sakitan yang dibesarkan dengan roti tanpa isi,
hanya pakai garam, dengan kacang dan sup arcis, kentang tanpa lauk, dan bubur
gandum”13. Ketika berumur tujuh tahun
Nommensen memilih menggembala angsa daripada duduk di bangku sekolah, pada usia
delapan ia menjadi penggembala kambing, pada usia sembilan ia belajar menjadi
tukang atap, pada umur sepuluh ia menjadi tukang kuda, pada usia sebelas tahun
ia menjadi buruh tani, dan sebelum masuk
seminaris RMG ia sempat menjadi guru bantu. Leipoldt dan Christiansen, teman
Nommensen dari Nordstrand, juga sempat menjadi guru bantu. Metzler menjadi
Lohgerber(tukang yang mengolah kulit binatang), Mohri menjadi
Eisenfabrikarbeiter (buruh pabrik besi),
Püse menjadi Zimmermann(tukang bangunan), Klammer dan Simoneit menjadi
Schreiner(tukang kayu), Schütz
.............................
13Ich war ein Junge armer, kränklicher Eltern, der bei trockenem Brot und
Salz, Pferdebohnen und Erbsensuppe, trockenen Karthoffen und Roggenmehlbrei
groß geworden. (Warneck 1950:9
menjadi
Anstreicher(tukang cat), Staudte menjadi Drechsler(tukang kayu), dan Heine
menjadi Bauer(petani). Hanya satu di antara keenam penginjil di Silindung,
Johannsen, menjadi guru sekolah sebelum masuk seminaris RMG. Betapa susah pun
dari segi kenyamanan dan materi kehidupan para misionaris, dibandingkan dengan
kehidupan di Jerman status sosial mereka di Sumatra jauh lebih tinggi.14(Angerler 1993:56–57)
August
Schreiber berbed a dari semua misionaris lainnya karena hanya ia sendiri yang
berpendidikan tinggi. Schreiber juga bukan tamatan seminaris di Barmen
melainkan tamatan universitas dengan gelar doktor teologi. Dr. Schreiber
menjadi guru di seminaris di Barmen antara tahun 1865-1866 dan 1873-1884 dan
mulai tahun 1884
hingga tahun 1903 ia menjadi Inspektor (direktur) RMG
0 komentar:
Posting Komentar