English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Selasa, 27 Desember 2016

0
Peran Zending dalam Perang Toba (1)


dikutip dari Buku "Utusan Damai di Kemelut Perang" oleh Uli Kozok
Berdasarkan Laporan I.L. Nommensen dan pengin
  

 Pendahuluan
“Mereka mengatakan secara blak-blakan bahwa kami pelopor pemerintah kolonial yang awalnya berbuat amal dengan cara memberi obat dsb. untuk akhirnya menyerahkan tanah dan rakyat kepada pemerintah.”
Demikian keluhan I.L. Nommensen ketika baru membuka pos zending di lembah Sipirok. Dugaan orang Sipirok ternyata benar. Tidak lama sesudah pindah ke lembah Silindung, tepatnya pada awal tahun1878, Nommensen berulang kali meminta kepada pemerintah kolonial agar selekasnya menaklukkan Silindung menjadi bagian dari wilayah Hindia-Belanda.
Pemerintah Belanda akhirnya mengabulkan permintaan Nommensen sehingga terbentuk koalisi injil dan pedang yang sangat sukses karena kedua belah pihak memiliki musuh yang sama: ingamangaraja XII yang oleh zending dicap sebagai “musuh bebuyutan pemerintah Belanda dan zending Kristen.” Bersama-sama mereka berangkat untuk mematahkan perjuangan Singamangaraja. Pihak pemerintah dibekali dengan persenjataan, organisasi, dan ilmu pengetahuan
peperangan modern sementara pihak zending dibekali dengan pengetahuan adat-istiadat dan bahasa. Kedua belah pihak, zending Batak dan pemerintah kolonial, saling membutuhkan dan saling melengkapi, dan tujuan mereka pun pada hakikatnya sama: Memastikan agar orang Batak “terbuka pada pengaruh Eropa dan
tunduk pada kekuasaan Eropa”.
Berkat pengetahuan bahasa dan budaya pihak zending (terutama zendeling Nommensen dan Simoneit) berhasil meyakinkan ratusan raja agar berhenti mengadakan perlawanan dan menyerah pada kekuasaan Belanda:
“Bantuan dan keikutsertaan para misionaris yang mendampingi ekspedisimili ter hingga ke Dana Toba juga mempunyai tujuan yang lain: yaitu untuk meyakinkan rakyat untuk menghentikan perlawanan mereka yang sia-sia dan mendesak mereka untuk menyerahkan diri.”
Sementara yang tidak mau menyerah didenda dan kampungnya dibakar.MelaluiGubernur Sumatra pemerintah Belanda membalas budi para penginjil dengan mengeluarkan surat penghargaan yang resmi:
Pemerintah mengucapkan terima kasih kepada penginjil Rheinische
Missions-Gesellschaft di Barmen, terutama Bapak I. Nommensen dan
Bapak A. Simoneit yang bertempat tinggal di Silindung, atas jasa yang telah diberikan selama ekspedisi melawan Toba.
Selain surat penghargaan, para misionaris juga memperoleh 1000 Gulden dari pemerintah yang “dapat diambil setiap saat”.


ditulis oleh J.T. Nommensen (anak I.L. Nommensen) berjudul
Porsorion ni L.Nommensenyang diterbitkan pada tahun 1925 oleh Zendingsdrukkerij Laguboti setelah I.L. Nommensen meninggal (1918) dan menceritakan riwayat hidupnya yang sebagian berdasarkan tulisan Nommensen di BRMG, tetapi tentu sudah
disadur dan diringkas.
Dalam BAB VI Pertarungan rakyat Sumatra Utara bersama Si Singamangaraja XII melawan Belanda butir 1–11 (hal. 151–186) membahas Perang Toba I, dan BAB itu sangat diwarnai oleh
sumber sekunder Porsorion ni L. Nommensen. Sayang Sidjabat tidak memanfaatkan sumber primernya, yaitu laporan Nommensen dalam
RBMG. Padahal BRMG merupakan sumber sejarah Batak yang tak ternilai yang menceritakan sejarah Batak dari sudut pandang zending selama lebih dari 50 tahun di atas sekitar 5.000 halaman. Tampaknya hingga kini laporan lengkap I.L.Nommensen tentang Perang Toba I tidak pernah digunakan untuk penulisan sejarah Batak hingga dirasakan perlu untuk menerbitkan ulang catatan Nommensen tentang perang Toba dalam terjemahan bahasa Indonesia.
Sidjabat tidak berniat menuliskan sejarah secara objektif. Dengan sangat jelas ia memperlihatkan sikap pro zending, pro Singamangaraja, dan anti Belanda. Belanda digambarkan sebagai orang yang “cerdik” (hal. 157), memiliki “tangan kotor” (158), “hendak memanfaatkan Nommensen”, menggunakan “tindakan keganasan”
(171), “mengadakan kegiatan ganas” (171), tujuannya “didorong oleh keserakahan ekonomi dan militer”, dan pada pasukan Belanda, demikian ditulisnya, yang menonjol “hanya unsur kebinatangan manusia” (179).
Walaupun Nommensen pada Perang Toba I mendampingi pasukan Belanda dari hari pertama sampai hari terakhir, dan walaupun ia sangat berperan dalam pecahnya perang tersebut, Nommensen dan pihak zending jarang sekali disebut oleh Sidjabat, dan kalaupun disebut maka Nommensen dan kawan-kawannya digambarkan secara serba positif. Sidjabat berusaha keras meyakinkan pembaca
bukunya bahwa “kehadirannya [...] bukan dalam rangka penjajahan” (156), Nommensen melakukan “pelbagai usaha untuk mengelakkan pertumpahan darah” (165), “berulang kali mengatakan kesediaannya menempuh jalan damai” (166), “tidak dapat menyetujui tindakan kekerasan yang digunakan oleh Belanda” (159),dan “merasa sedih sekali” melihat kampung-kampung Batak dibakar Belanda
Nommensen akhirnya ‘merasa pusing kepala dan terpaksa membaringkan dirinya di dekat sebatang pohon ara dekat Paindoan’. Hasil pekerjaannya sejak tahun 1876 di Toba pastilah akan mengalami kesulitan akibat tindakan kekerasan Belanda ini.[...] Pihak Nommensen bersama zendeling lain, yang memang terjepit dalam keadaan ini [maksudnya Perang Toba, U.K.], masih berusaha untuk mengelakkan pertumpahan darah.Sidjabat tidak menafikan bahwa Nommensen memanggil Belanda ke Silindung tetapi ia berar
gumentasi bahwa Belanda bagaimana pun sudah bertekad masuk ke
Silindung sehingga “Nommensen hanya bahan pelengkap saja dan bukan merupakan alasan sebenarnya mengirim serdadu ke Silindung.” Kalau pun, di samping laporan Nommensen kepada Belanda tentang rencana Singamangaraja untuk membunuh atau mengusir para penginjil dan semua orang beragamaKristen, masih ada alasan lain maka Belanda mau masuk ke Silindung, tetapi
kesimpulan Sidjabat “bahwa kedatangan Belanda ke Silindung itu ialah atas permintaan Nommensen, tidak benar” bertolak belakang dengan laporan Nommensen sendiri. Sidjabat lalu meneruskan argumentasinya:Nommensen masih berusaha sekuat tenaga untuk mendekati Residen Boyle dan Kontelir van Hoevel dan mengusulkan, agar jangan sampai mengadakan tindakan kekerasan.
Pertumpahan darah dan kekerasan berlebihan memang dapat memojokkan pihak zending, namun para penginjil bukan secara mutlak anti kekerasan. Pasukan bantuan Kristen yang dipersenjatai Belanda, dan yang dikecam keras bukan hanya oleh surat-kabar
Hindia Belanda tetapi juga oleh surat kabar Belanda seperti
Nieuwe Rotterdamsche Courant (20 Mei 1878) karena tindakan mereka yang “bengis dan keji” dalam Perang Toba I, dibela pihak zending dengan kata-kata berikut: “
Memang benar bahwa mereka [pasukan bantuan Kristen, UK]
diperintahkan Belanda untuk membakar beberapa kampung. Kalau dalam perang memang ada pertumpahan darah, hal itu perlu dimaklumi, di Eropa pun halnya demikian, namun para penginjil selalu berusaha agar tidak ada pertumpahan darah yang berlebihan.” (
BRMG 1878 hal. 195)
Sidjabat mengakui bahwa tidak semua orang Batak berpihak pada
Singamangaraja: ...semangat juang dari pihak rakyat tidak pernah mundur kecuali semangat mereka yang mengkhianati perjuangan
Namun secara umum timbul kesan seolah-olah para raja secara bahu
-membahu melawan Belanda:
Pihak Singamangaraja pun segera pula mengadakan reaksi. Raja
-raja dan para panglima diajak bermusyawarah untuk menentukan apakah mereka bersedia melihat daerahnya dipreteli atau mengadakan perlawanan.
Peristiwa ini terjadi pada tahun 1877. Mufakat pun tercapai untuk tidak membiarkan politik ekspansi Belanda berjalan terus.
Kenyataan yang sebenarnya jauh lebih kompleks sebagaimana yang diceritakan Sidjabat. Pihak zending melaporkan bahwa “banyak daerah yangsudah berulang kali meminta kepada pemerintah Belanda agar wilayahnya dianeksasi”. Raja yang memeluk agama Kristen rata-rata setuju kalau Silindung dimasukkan ke dalam
wilayah kolonial Belanda, dan juga di antara raja yang masih berpegang pada agama nenekmoyangnya tidak semua anti Belanda.
Sangat penting bagi Sidjabat adalah rekonsiliasi zending dengan
Singamangaraja dan untuk upaya tersebut ia menyediakan sebuah BAB secara eksklusif: IX Sikap Sisingamangaraja XII terhadap Zending (hal. 395–411).
Menurutnya ada kontinuitas sikap dari Singamangaraja X hingga XII terhadap zending yang ditandai oleh rasa persahabatan: “tidak ada sikap permusuhan dari Si Singamangaraja X terhadap pihak zending” (157), melainkan “sejak tibanya pihak zendeling, hubungan dengan
Singamangaraja segera dipelihara dengan baik (157),
“Si Singamangaraja XI juga malah berkelakar dengan Nommensen” (158). Menurut Sidjabat Singamangaraja bukan “musuh bebuyutan pemerintah Belanda dan zending Kristen” sebagaimana ia dicap oleh pihak zending, melainkan anggapan zending itu hanya merupakan “godogan [sic!] pihak Kolonial Belanda.”
Kalau kita percaya pada kesimpulan Sidjabat maka para penginjil terus-menerus diakali dan dimanfaatkan Belanda. Sulit untuk mempercaya bahwa Nommensen dkk., apalagi pihak pimpinan RMG yang selalu memantau pekerjaan mereka dengan sangat seksama, begitu naif.
Pendekatan dikotomi hitam-putih yang sedemikian agaknya tidak sesuai dengan kenyataan, dan jelas tidak didukung oleh catatan para penginjil, terutama Nommensen dalam laporannya di BRMG.
Pada tahun 1876 Nommensen masih percaya bahwa pekerjaan zending bisa lebih sukses di daerah yang merdeka:
Menurut berita yang kami peroleh dari Sibolga, tampaknya pemerintahan Belanda untuk sementara tidak ditetapkan di Silindung. Berita itu menggembirakan. Makin lama makin kami sadari bahwa keadaan di daerah merdeka lebih mendukung daripada di daerah pemerintahan betapa pun kejamnya dan liarnya orang Batak merdeka bisa menyusahkan seorang penginjil. Orang Batak merdeka lebih bersemangat dan jiwanya lebih terbuka [daripada mereka di daerah yang dikuasai Belanda].
Namun alasan utama maka zending tidak menginginkan Belanda masuk karena para zendeling khawatir bahwa bersama dengan orang Belanda orang Islam akan masuk ke Tanah Batak:
Semoga dengan bantuan Tuhan kami berhasil mengkristenkan semua orang Batak di lembah ini [Silindung] sebelum datang pemerintahan Belanda karena pemerintahan Belanda tentu akan membawa orang Islam ke sini.
Sikap ini berubah setelah zending memiliki basis umat Kristen yang lebih kokoh.
Pada tahun 1878, setelah keadaan di Silindung menghangat, zending meminta kepada pemerintah Belanda agar Silindung segera dimasukkan ke dalam wilayah Hindia-Belanda:
Kalau Belanda sekarang hendak menyelenggarakan pemerintahan makahal ini tentu membawa berkat. [..] Apakah hal itu juga menguntungkan zending, apakah dengan pemerintahan Belanda agama Islam akan masuk adalah pertanyaan yang lain lagi. Oleh sebab itu maka para misionaris belum pernah meminta agar Silindung dianeksasi. Kalau hal itu sekarang diminta [...] jelas pemerintahan Belanda juga sangat bermanfaat bagi zending kita, dan bila kelak kita harus bersaing dengan agama Islam maka sekarang agama Kristen di Silindung sudah memiliki kemajuan yang susah terkejar? (BRMG 1878:118)
Ternyata zending tidak menduga bahwa permintaan mereka agar pemerintah mengirim pasukan ke Silindung akan mendapat kecaman keras.
Malahan pihak di Belanda yang bersahabat dengan zending keberatan dengan kenyataan bahwa penginjil kita meminta bantuan
pemerintah Belanda. (BRMG 1878:193)
Menurut penginjil mereka tidak bersalah memanggil bantuan Belanda karena mereka berada di wilayah yang “pada hakikatnya” (eigentlich) berada di bawah kekuasaan Belanda. Masalahnya di sini bahwa mungkin de jure (secara hukum) Silindung sudah termasuk wilayah Hindia-Belanda tetapi tidak de facto (secara nyata) karena pemerintah Belanda tidak ada perwakilan apa-apa di sana dan pemerintahan sepenuhnya berada di tangan raja.
Kalau ada utusan Singamangaraja datang ke Silindung untuk menghasut rakyat –yang pada hakikatnya telah berada di bawah kekuasaan Belanda –dan menyerukan agar mereka tunduk pada Aceh, dan kalau penginjil kita mendengar rencana orang Aceh itu untuk mendirikan kekuasaannya di atas kerajaan Singamangaraja, d
an berusaha lagi untuk menjatuhkan kekuasaan Belanda di Angkola, Mandailing, dan Padang Bolak, apakah penginjil kita bukan berkewajiban untuk segera melaporkan hal itu kepada Residen? Bukannya tidak bertanggung jawab kalau mereka tidak melakukan apa-apa? Kalau pemerintah Belanda, berdasarkan laporan
penginjil kita, mengirim pasukannya ke Silindung apakah hal itu kesalahan penginjil kita? (BRMG 1878:94)
Alasan hukum sekali lagi dimanfaatkan ketika zending dikecam bersama dengan pasukan memasuki dan mendudukiBahal Batu yang termasuk wilayah Singamangaraja-hal mana sudah barang tentu merupakan provokasi. Di sini mereka menjawab bahwa
1. Bahal Batu pun sudah termasuk wilayah Belanda, dan
2. Singamangaraja hanya menjadi raja di Bangkara.

Menarik untuk dicatat di sini bahwa hanya setahun sebelumnya, 1977, Gubernur Sumatra menyuruh penginjil untuk meninggalkan Bahal Batu karena menurutnya Bahal Batu tidak termasuk wilayah Hindia-Belanda. Pernyataan itu memang kemudian ditarik kembali, tetapi kisah ini membuktikanbahwa pemerintah Belanda sendiri tidak mengetahui dengan pasti daerah mana yang termasuk wilayahnya dan mana yang tidak karena mereka tidak berminat untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah Silindung.
Pandangan dan interpretasi Sidjabat tentang sejarah seputar Perang Toba
Pertama sekarang secara umum diterima, terutama oleh kalangan HKBP. Di dalam salah satu makalah keluaran HKBP berjudul
Pahlawan Nasional Indonesia Si Singamangaraja di mata HKBP
oleh Pdt. Rachman Tua Munthe, Praeses HKBP Distrik III
Humbang, disebutkan bahwa, ...selama timbulnya bentrokan di antara Si Singamangaraja XII dengan pemerintah Belanda, Gereja (Zending) berada pada pihak ketiga yang mencoba mengadakan perjanjian perdamaian. Dengan demikian, pemerintah kolonial Belanda tidak sejajar dengan Zending dan Gereja.
Munthe juga mengutip buku berjudul Abastraksi [sic!] Pelayanan DR. Ingwer Ludwig Nommensen di Tanah Batak:
Waktu perang Raja Sisingamangaraja XII melawan Tentara Belanda,
Nommensen mengambil sikap bijaksana dan netral.
Tentu saja kepentingan zending dan pemerintah sering berbeda, tetapi di berbagai bidang kepentingan mereka sejajar, dan di bawah Fabri sebagai direktur RMG yang sekaligus merangkap sebagai guru, para calon misionaris belajar bahwa kepentingan misi pada ha
kekatnya sejajar dengan kepentingan pemerinth kolonial.
Fabri, yang notabene menjadi penulis buku berjudul Bedarf Deutschland der Colonien?(Apakah Jerman Membutuhkan Daerah Jajahan?)malahan menganjurkan agar penginjilan dimanfaatkan sebagai alat untuk merintis penjajahan. Baik para misionaris maupun pegawai pemerintah kolonial yakin bahwa mereka berbuat baik
dengan membawa peradaban pada bangsa Batak yang mereka cap sebagai liar dan biadab.
Para misionaris juga menekankan bahwa Belanda senantiasa dapat
mengandalkan Batak Kristen sebagai teman yang setia:
Betapa orang Batak Kristen dapat diandalkan tampak jelas sekarang,
sebagai orang Islam orang Batak takkan mungkin menjadi rakyat yang patuh pada Belanda. [...] memang benar bahwa orang Silindung yang Kristen adalah teman setia Belanda, dan bahwa pasukan bantuan mereka berperang bersama pasukan Belanda. (BRMG 1878:154)
Kesejajaran zending dan pemerintah tampak pada bahasa yang digunakan Nommensen. Ketika ia menceritakan kembali perjalanannya mengikuti ekspedisi Toba ia secara konsisten menggunakan kata ‘kami’. Kata ‘kami’ malahan digunakannya untuk kegiatan yang dilakukan tentara. Dari hal ini ternyata betapa
Nommensen mengidentifikasikan diri dengan tentara:
•Sesudah Residen Boyle bersama Kolonel Engel naikke sini bersama dengan 200 pasukan lagi maka kamimulai menyerang.
•Sekitar jam 3 sore kampung-kampung itu sudah di tangan kami.
10–12 laki-laki dan sekitar 70 perempuan jatuh ke tangan kami
lalu ditawan.
•Di pihak kamidua yang meninggal dan 12 yang cedera.
•[...] berpura-pura menjadi teman dan mengatakan takluk pada
kami.
•Sedangkan para pejuang di pihak Singamangaraja disebutnya sebagai musuh:
•Belum ada berita tentang adanya gerakan dari pihak musuh.
•Pihak musuhmenyerang dua kali masing-masing sekitar 500
–700 orang. Serangan kedua lebih kuat tetapi dua-duanya dapat ditangkis dengan mudah dan tanpa jatuhnya korban di pihak Belanda sementara di pihak musuhada 20 orang yang cedera dan 2 yang mati. [...] Kalau pasukan di Bahal Batu dapat bertahan sampai pasukan tambahan tiba maka kemungkinan pihak musuhmenang sangat tipis karena Belanda unggul dalam hal persenjataan dan disiplin.
•Dari Bahal Batu mereka menuju arah barat ke Butar dan menaklukkan kampung-kampung yang berpihak pada musuh.
•Hal tersebut diutamakan oleh para zendeling supaya para musuhpun bisa melihat niat baiknya.
•Setelah kami bekerja dengan tenang selama beberapa minggu
musuhkami yang jahat bergerak lagi.
•Simoneit dan Israel tinggal di sini untuk membantu kami kalau
-kalau pos diserang musuh.
•Pada malam hari tanggal 16 Februari musuhmenembaki kamp tentara dan meninggalkan tiga surat dari buluh yang mengumumkan perang terhadap kami.
•Setiap hari musuhdatang, kadang-kadang ribuan orang.
•Kebanyakan musuhberasal dari daerah di sekitar Danau Toba,
dari Butar dan Lobu Siregar, digerakkan oleh Singamangaraja, seorang demagog yang menghasut dan mencelakakan rakyatnya.
•Beberapa kali peluru masuk ke rumah pada malam hari, dua kali
musuhberusaha untuk membakarnya.
Masih banyak lagi contoh dapat disebut yang menunjukkan bahwa para zending Batakmission jelas berpihak pada Belanda dan menganggap para pejuang yang ingin mempertahankan kemerdekaannya sebagai musuhnya.
Argumentasi Sidjabat dan pengarang lain yang sering menekankan adanya jarak antara penginjil RMG dan pihak Belanda karena bangsa mereka berbeda, tidak dapat diterima. Para penginjil RMG berkebangsaan Jerman sementara pemerintah kolonial dijalankan oleh bangsa Belanda. Dengan demikian, begitu kesimpulannya,
penjajahan bukan kepentingan para penginjil. Hal itu keliru karena, sesuai dengan pelajaran mereka di seminaris RMG, penjajahan bangsa putih terhadap bangsa yang berwarna adalah hal yang penting demi mengangkat martabat bangsa keturunan Ham. Pihak penginjil RMG sama sekali tidak anti penjajahanmelainkan
mendukungnya dengan penuh hati.
Kita juga bisa melihat dari laporan Nommensen bahwa ia tidak begitu
membedakan antara Belanda dan Jerman dan lebih menekankan kepentingan bersama dengan menggunakan istilah Eropa daripada Belanda:
Hal yang paling penting adalah bahwa Toba keluar dari isolasinya, terbuka pada pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa sehingga dengan sangat mudah zending kita bisa masuk. Memang ada kemungkinan bahwa orang Toba membenci orang Eropa setelah Belanda mengalahkan danmembakar kampung mereka. Namun hal itu tidak terjadi. (BRMG 1882:202)
Perlu juga diingatkan bahwa orang Belanda waktu itu masih menamakan bahasanya ‘Nederduits’ (Jerman Rendah) sementara Nommensen sendiri penutur asli bahasa Frisia yang merupakan salah satu dialek Jerman Rendah yang sangat dekat dengan bahasa Belanda. Selain itu, sesuai dengan pelajaran yang diperolehnya ketika belajar di seminaris, Belanda dan Jerman masih merupakan
keturunan ras Germania yang sama.
Sebagaimana jauh para penginjil mengidentifikasikan diri dengan para penjajah tampak pada kutipan berikut:
Untuk menilai benar salahnya penaklukan Toba yang dilakukan dengan begitu cepat dan dengan sangat sedikit biaya maupun jumlah korban, maka perlu diperhatikan butir-butir berikut: [...] (BRMG 1882:202)
Rupanya bagi zending jumlah korban di pihak musuh mereka(pejuang
Singamangaraja) tidak perlu dihitung. Tidak diketahui dengan pasti berapa banyak orang meninggal di pihak pejuang Singamangaraja dan sekutunya serta di kalangan penduduk sipil.
Paling tidak puluhan namun lebih mungkin sampai beberapa ratus korban yang tewas belum lagi yang cedera. Jumlah yang tidak
sedikit, tetapi yang diungkapkan zending dalam konteks ini malahan biaya perang.
Kedekatan Nommensen dan para penginjil lain dengan penjajah sebenarnya tidak mengherankan mengingat pendidikan yang mereka peroleh di RMG. Fabri, Direktur RMG, menekankan agar para penginjil senantiasa menjalin kerja sama yang erat dengan pemerintah kolonial karena tujuan zending dan pemerintahan
kolonial pada hakikatnya sama.
RMG memang senantiasa berusaha untuk melakukan konsolidasi agama dan politik, tidak hanya di Batakmission tetapi juga di wilayah kerja yang lain seperti di Afrika Selatan. Di situ pun RMG tetap berusaha untuk menjalin hubungan yang baik dengan pemerintah kolonial dan membantunya. Sejak pemberontakan Herero pada
tahun 1904 para misionaris tidak menaruh simpati apa pun pada gerakan kemerdekaan masyarakat hitam di Afrika Selatan. Demikian juga di Tanah Batak.
Ketika benih gerakan kemerdekaan mulai tumbuh di kalangan orang Batak, dan ketika Kristen Batak meminta agar mereka dapat menentukan sendiri nasib gerejanya maka RMG dengan sangat tegas menolak gagasan kemandirian gereja Batakdan mengutuk organisasi Batak seperti Hatopan Kristen Batak dengan alasan bahwa kemandirian bertentangan dengan kehendak Tuhan yang memang sudah menakdirkan orang putih sebagai pemimpin
1.Nommensen juga memuji perwira dan pegawai administrasiBelanda:
Berkat tangan Tuhan, [...] dan hal ini menjadi tanda bahwa Tuhan
menghendaki rakyat hidup dalam kedamaian, berkat tangan Tuhan
ekspedisi militer dikepalai oleh seorang yang sudah bertahun-tahun
mengenal orang Batak, orang yang mengetahui kepentingan rakyat, dan yang didampingi perwira yang merasa belas kasihan deng
an musuh, yang disegani musuh karena keberaniannya menyerang, yang dengan lapang hati tidak mengejar mereka yang lari. Dengan demikian orang Batak dapat kesan betapa besar keagungan dan kemuliaan orang Eropa sehingga mereka tidak dapat membenci kita, apalagi karena Tuhan menunjukkannya bahwa mereka sendiri bersalah. (BRMG 1882:204)
Perlu ditekankan bahwa Nommensen membantu pemerintah dan tentara Belanda dengan rela hati tanpa ada unsur paksaan apa pun. Nommensen melakukannya karena menurut apa yang dipelaja
rinya di seminaris RMG di Barmen para penginjil berkewajiban untuk selalu bekerjasama dengan pihak pemerintah kolonial dan karena ia percaya bahwa orang Batak hanya bisa menjadi manusia yang beradab bila berada di bawah kekuasaan bangsa Eropa.
Belakangan ini saya membaca sebuah esai di internet yang ditulis oleh Limantina Sihaloho, seorang teolog dari Sumatra Utara:
Secara pribadi, saya juga kagum pada I.L. Nommensen. Masalahnya,
1Lihat Aritonang 1988.
kagum saja tidak cukup. Menjadikan seseorang menjadi legenda bahkan mitos juga dapat berbahaya. Sayangnya manusia mempunyai
kecenderungan untuk melegendakan dan memitoskan seseorang terutama yang telah lama meninggal. [...] Nommensen adalah anak zamannya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Makalah ini tidak bermaksud untuk mengurangi rasa kagum pada laki
-laki suku Frisia dari pulau Nordstrand itu, tetapi sebagai salah satu sumbangan agar I.L. Nommensen dan tokoh penginjilan Batak lainnya dipandang sebagai “anak zaman dengan segala kelebihan dan kekurangannya” dan tidak sebagai tokoh legendaris.
Seorang tokoh dari abad ke-19 tidak patut dinilai berdasarkan nilai-
nilai abad ke-21. Bila sekarang seorang Jerman mengatakan bahwa bangsa Jerman lebih unggul dari bangsa lain maka orang itu pasti ditertawakan. Konsep keunggulan ras kini dianggap sebagai sesuatu dari zaman yang berlalu yang sama sekali tidak ada tempat dalam masyarakat Jerman modern. Pada awal abad ke-21 paham
keunggulan ras Germania dianggap sebagai paham yang sesat sementara pada abad ke-19, zamannya Nommensen, keungg
ulan ras putih dianggap sebagai kenyataan.
Nommensen dilahirkan pada tahun 1834 di pulau Nordstrand (yang bila diterjemahkan berarti Pantai Utara). Ketika ia berumur 14 tahun gerakan demokrasi Jerman memberontak melawan kekaisaran, namun revolusi itu gagal.
Waktu Nommensen masuk seminaris RMG pada tahun 1857 Jerman belum bersatu tetapi terdiri atas puluhan negeri kecil yang masing
-masing berhak untuk membuat peraturan sendiri. KetikaNommensen pindah ke Pearaja, negeri Jerman (Deutsches Reich) baru berumur
dua tahun. Setelah kerajaan-kerajaan kecil akhirnya bersatu dalam
Deutsches Reich maka Jerman mengalami perkembangan yang pesat dan barangkali menjadi negara termaju di dunia. Namun, beda dengan negara Eropa lainnya, Jerman, yang baru menjadi sebuah negarapada tahun 1871, belum memiliki daerah penjajahan.

Nommensen dan penginjil RMG lainnya bukan hanya anak zaman, tetapi juga dipengaruhi oleh aliran teologi yang dominan di seminaris RMG. 

0 komentar:

Posting Komentar

 
TtuaPardede | © 2010 by DheTemplate.com | Supported by Promotions And Coupons Shopping & WordPress Theme 2 Blog