dikutip dari Buku "Utusan Damai di Kemelut Perang" oleh Uli Kozok
Berdasarkan
Laporan I.L. Nommensen dan pengin
Pendahuluan
“Mereka
mengatakan secara blak-blakan bahwa kami pelopor pemerintah kolonial yang
awalnya berbuat amal dengan cara memberi obat dsb. untuk akhirnya menyerahkan
tanah dan rakyat kepada pemerintah.”
Demikian
keluhan I.L. Nommensen ketika baru membuka pos zending di lembah Sipirok.
Dugaan orang Sipirok ternyata benar. Tidak lama sesudah pindah ke lembah
Silindung, tepatnya pada awal tahun1878, Nommensen berulang kali meminta kepada
pemerintah kolonial agar selekasnya menaklukkan Silindung menjadi bagian dari
wilayah Hindia-Belanda.
Pemerintah
Belanda akhirnya mengabulkan permintaan Nommensen sehingga terbentuk koalisi
injil dan pedang yang sangat sukses karena kedua belah pihak memiliki musuh
yang sama: ingamangaraja XII yang oleh zending dicap sebagai “musuh bebuyutan
pemerintah Belanda dan zending Kristen.” Bersama-sama mereka berangkat untuk
mematahkan perjuangan Singamangaraja. Pihak pemerintah dibekali dengan
persenjataan, organisasi, dan ilmu pengetahuan
peperangan
modern sementara pihak zending dibekali dengan pengetahuan adat-istiadat dan
bahasa. Kedua belah pihak, zending Batak dan pemerintah kolonial, saling
membutuhkan dan saling melengkapi, dan tujuan mereka pun pada hakikatnya sama:
Memastikan agar orang Batak “terbuka pada pengaruh Eropa dan
tunduk pada
kekuasaan Eropa”.
Berkat
pengetahuan bahasa dan budaya pihak zending (terutama zendeling Nommensen dan
Simoneit) berhasil meyakinkan ratusan raja agar berhenti mengadakan perlawanan
dan menyerah pada kekuasaan Belanda:
“Bantuan dan
keikutsertaan para misionaris yang mendampingi ekspedisimili ter hingga ke Dana
Toba juga mempunyai tujuan yang lain: yaitu untuk meyakinkan rakyat untuk
menghentikan perlawanan mereka yang sia-sia dan mendesak mereka untuk
menyerahkan diri.”
Sementara
yang tidak mau menyerah didenda dan kampungnya dibakar.MelaluiGubernur Sumatra
pemerintah Belanda membalas budi para penginjil dengan mengeluarkan surat
penghargaan yang resmi:
Pemerintah
mengucapkan terima kasih kepada penginjil Rheinische
Missions-Gesellschaft
di Barmen, terutama Bapak I. Nommensen dan
Bapak A.
Simoneit yang bertempat tinggal di Silindung, atas jasa yang telah diberikan
selama ekspedisi melawan Toba.
Selain surat
penghargaan, para misionaris juga memperoleh 1000 Gulden dari pemerintah yang
“dapat diambil setiap saat”.
ditulis oleh
J.T. Nommensen (anak I.L. Nommensen) berjudul
Porsorion ni
L.Nommensenyang diterbitkan pada tahun 1925 oleh Zendingsdrukkerij Laguboti
setelah I.L. Nommensen meninggal (1918) dan menceritakan riwayat hidupnya yang
sebagian berdasarkan tulisan Nommensen di BRMG, tetapi tentu sudah
disadur dan
diringkas.
Dalam BAB VI
Pertarungan rakyat Sumatra Utara bersama Si Singamangaraja XII melawan Belanda
butir 1–11 (hal. 151–186) membahas Perang Toba I, dan BAB itu sangat diwarnai
oleh
sumber
sekunder Porsorion ni L. Nommensen. Sayang Sidjabat tidak memanfaatkan sumber
primernya, yaitu laporan Nommensen dalam
RBMG.
Padahal BRMG merupakan sumber sejarah Batak yang tak ternilai yang menceritakan
sejarah Batak dari sudut pandang zending selama lebih dari 50 tahun di atas
sekitar 5.000 halaman. Tampaknya hingga kini laporan lengkap I.L.Nommensen
tentang Perang Toba I tidak pernah digunakan untuk penulisan sejarah Batak
hingga dirasakan perlu untuk menerbitkan ulang catatan Nommensen tentang perang
Toba dalam terjemahan bahasa Indonesia.
Sidjabat
tidak berniat menuliskan sejarah secara objektif. Dengan sangat jelas ia memperlihatkan
sikap pro zending, pro Singamangaraja, dan anti Belanda. Belanda digambarkan
sebagai orang yang “cerdik” (hal. 157), memiliki “tangan kotor” (158), “hendak
memanfaatkan Nommensen”, menggunakan “tindakan keganasan”
(171),
“mengadakan kegiatan ganas” (171), tujuannya “didorong oleh keserakahan ekonomi
dan militer”, dan pada pasukan Belanda, demikian ditulisnya, yang menonjol
“hanya unsur kebinatangan manusia” (179).
Walaupun
Nommensen pada Perang Toba I mendampingi pasukan Belanda dari hari pertama
sampai hari terakhir, dan walaupun ia sangat berperan dalam pecahnya perang
tersebut, Nommensen dan pihak zending jarang sekali disebut oleh Sidjabat, dan
kalaupun disebut maka Nommensen dan kawan-kawannya digambarkan secara serba
positif. Sidjabat berusaha keras meyakinkan pembaca
bukunya
bahwa “kehadirannya [...] bukan dalam rangka penjajahan” (156), Nommensen
melakukan “pelbagai usaha untuk mengelakkan pertumpahan darah” (165), “berulang
kali mengatakan kesediaannya menempuh jalan damai” (166), “tidak dapat
menyetujui tindakan kekerasan yang digunakan oleh Belanda” (159),dan “merasa
sedih sekali” melihat kampung-kampung Batak dibakar Belanda
Nommensen
akhirnya ‘merasa pusing kepala dan terpaksa membaringkan dirinya di dekat
sebatang pohon ara dekat Paindoan’. Hasil pekerjaannya sejak tahun 1876 di Toba
pastilah akan mengalami kesulitan akibat tindakan kekerasan Belanda ini.[...]
Pihak Nommensen bersama zendeling lain, yang memang terjepit dalam keadaan ini
[maksudnya Perang Toba, U.K.], masih berusaha untuk mengelakkan pertumpahan
darah.Sidjabat tidak menafikan bahwa Nommensen memanggil Belanda ke Silindung
tetapi ia berar
gumentasi
bahwa Belanda bagaimana pun sudah bertekad masuk ke
Silindung
sehingga “Nommensen hanya bahan pelengkap saja dan bukan merupakan alasan
sebenarnya mengirim serdadu ke Silindung.” Kalau pun, di samping laporan
Nommensen kepada Belanda tentang rencana Singamangaraja untuk membunuh atau
mengusir para penginjil dan semua orang beragamaKristen, masih ada alasan lain
maka Belanda mau masuk ke Silindung, tetapi
kesimpulan
Sidjabat “bahwa kedatangan Belanda ke Silindung itu ialah atas permintaan
Nommensen, tidak benar” bertolak belakang dengan laporan Nommensen sendiri.
Sidjabat lalu meneruskan argumentasinya:Nommensen masih berusaha sekuat tenaga
untuk mendekati Residen Boyle dan Kontelir van Hoevel dan mengusulkan, agar
jangan sampai mengadakan tindakan kekerasan.
Pertumpahan
darah dan kekerasan berlebihan memang dapat memojokkan pihak zending, namun
para penginjil bukan secara mutlak anti kekerasan. Pasukan bantuan Kristen yang
dipersenjatai Belanda, dan yang dikecam keras bukan hanya oleh surat-kabar
Hindia
Belanda tetapi juga oleh surat kabar Belanda seperti
Nieuwe
Rotterdamsche Courant (20 Mei 1878) karena tindakan mereka yang “bengis dan
keji” dalam Perang Toba I, dibela pihak zending dengan kata-kata berikut: “
Memang benar
bahwa mereka [pasukan bantuan Kristen, UK]
diperintahkan
Belanda untuk membakar beberapa kampung. Kalau dalam perang memang ada
pertumpahan darah, hal itu perlu dimaklumi, di Eropa pun halnya demikian, namun
para penginjil selalu berusaha agar tidak ada pertumpahan darah yang
berlebihan.” (
BRMG 1878
hal. 195)
Sidjabat
mengakui bahwa tidak semua orang Batak berpihak pada
Singamangaraja:
...semangat juang dari pihak rakyat tidak pernah mundur kecuali semangat mereka
yang mengkhianati perjuangan
Namun secara
umum timbul kesan seolah-olah para raja secara bahu
-membahu
melawan Belanda:
Pihak
Singamangaraja pun segera pula mengadakan reaksi. Raja
-raja dan para
panglima diajak bermusyawarah untuk menentukan apakah mereka bersedia melihat
daerahnya dipreteli atau mengadakan perlawanan.
Peristiwa
ini terjadi pada tahun 1877. Mufakat pun tercapai untuk tidak membiarkan
politik ekspansi Belanda berjalan terus.
Kenyataan
yang sebenarnya jauh lebih kompleks sebagaimana yang diceritakan Sidjabat.
Pihak zending melaporkan bahwa “banyak daerah yangsudah berulang kali meminta
kepada pemerintah Belanda agar wilayahnya dianeksasi”. Raja yang memeluk agama
Kristen rata-rata setuju kalau Silindung dimasukkan ke dalam
wilayah
kolonial Belanda, dan juga di antara raja yang masih berpegang pada agama
nenekmoyangnya tidak semua anti Belanda.
Sangat
penting bagi Sidjabat adalah rekonsiliasi zending dengan
Singamangaraja
dan untuk upaya tersebut ia menyediakan sebuah BAB secara eksklusif: IX Sikap
Sisingamangaraja XII terhadap Zending (hal. 395–411).
Menurutnya
ada kontinuitas sikap dari Singamangaraja X hingga XII terhadap zending yang
ditandai oleh rasa persahabatan: “tidak ada sikap permusuhan dari Si
Singamangaraja X terhadap pihak zending” (157), melainkan “sejak tibanya pihak
zendeling, hubungan dengan
Singamangaraja
segera dipelihara dengan baik (157),
“Si
Singamangaraja XI juga malah berkelakar dengan Nommensen” (158). Menurut
Sidjabat Singamangaraja bukan “musuh bebuyutan pemerintah Belanda dan zending
Kristen” sebagaimana ia dicap oleh pihak zending, melainkan anggapan zending
itu hanya merupakan “godogan [sic!] pihak Kolonial Belanda.”
Kalau kita
percaya pada kesimpulan Sidjabat maka para penginjil terus-menerus diakali dan
dimanfaatkan Belanda. Sulit untuk mempercaya bahwa Nommensen dkk., apalagi
pihak pimpinan RMG yang selalu memantau pekerjaan mereka dengan sangat seksama,
begitu naif.
Pendekatan
dikotomi hitam-putih yang sedemikian agaknya tidak sesuai dengan kenyataan, dan
jelas tidak didukung oleh catatan para penginjil, terutama Nommensen dalam
laporannya di BRMG.
Pada tahun
1876 Nommensen masih percaya bahwa pekerjaan zending bisa lebih sukses di
daerah yang merdeka:
Menurut
berita yang kami peroleh dari Sibolga, tampaknya pemerintahan Belanda untuk
sementara tidak ditetapkan di Silindung. Berita itu menggembirakan. Makin lama
makin kami sadari bahwa keadaan di daerah merdeka lebih mendukung daripada di
daerah pemerintahan betapa pun kejamnya dan liarnya orang Batak merdeka bisa
menyusahkan seorang penginjil. Orang Batak merdeka lebih bersemangat dan
jiwanya lebih terbuka [daripada mereka di daerah yang dikuasai Belanda].
Namun alasan
utama maka zending tidak menginginkan Belanda masuk karena para zendeling
khawatir bahwa bersama dengan orang Belanda orang Islam akan masuk ke Tanah
Batak:
Semoga
dengan bantuan Tuhan kami berhasil mengkristenkan semua orang Batak di lembah
ini [Silindung] sebelum datang pemerintahan Belanda karena pemerintahan Belanda
tentu akan membawa orang Islam ke sini.
Sikap ini
berubah setelah zending memiliki basis umat Kristen yang lebih kokoh.
Pada tahun
1878, setelah keadaan di Silindung menghangat, zending meminta kepada
pemerintah Belanda agar Silindung segera dimasukkan ke dalam wilayah
Hindia-Belanda:
Kalau
Belanda sekarang hendak menyelenggarakan pemerintahan makahal ini tentu membawa
berkat. [..] Apakah hal itu juga menguntungkan zending, apakah dengan
pemerintahan Belanda agama Islam akan masuk adalah pertanyaan yang lain lagi.
Oleh sebab itu maka para misionaris belum pernah meminta agar Silindung
dianeksasi. Kalau hal itu sekarang diminta [...] jelas pemerintahan Belanda
juga sangat bermanfaat bagi zending kita, dan bila kelak kita harus bersaing
dengan agama Islam maka sekarang agama Kristen di Silindung sudah memiliki
kemajuan yang susah terkejar? (BRMG 1878:118)
Ternyata
zending tidak menduga bahwa permintaan mereka agar pemerintah mengirim pasukan
ke Silindung akan mendapat kecaman keras.
Malahan
pihak di Belanda yang bersahabat dengan zending keberatan dengan kenyataan
bahwa penginjil kita meminta bantuan
pemerintah
Belanda. (BRMG 1878:193)
Menurut
penginjil mereka tidak bersalah memanggil bantuan Belanda karena mereka berada
di wilayah yang “pada hakikatnya” (eigentlich) berada di bawah kekuasaan
Belanda. Masalahnya di sini bahwa mungkin de jure (secara hukum) Silindung
sudah termasuk wilayah Hindia-Belanda tetapi tidak de facto (secara nyata)
karena pemerintah Belanda tidak ada perwakilan apa-apa di sana dan pemerintahan
sepenuhnya berada di tangan raja.
Kalau ada
utusan Singamangaraja datang ke Silindung untuk menghasut rakyat –yang pada
hakikatnya telah berada di bawah kekuasaan Belanda –dan menyerukan agar mereka
tunduk pada Aceh, dan kalau penginjil kita mendengar rencana orang Aceh itu
untuk mendirikan kekuasaannya di atas kerajaan Singamangaraja, d
an berusaha
lagi untuk menjatuhkan kekuasaan Belanda di Angkola, Mandailing, dan Padang
Bolak, apakah penginjil kita bukan berkewajiban untuk segera melaporkan hal itu
kepada Residen? Bukannya tidak bertanggung jawab kalau mereka tidak melakukan
apa-apa? Kalau pemerintah Belanda, berdasarkan laporan
penginjil
kita, mengirim pasukannya ke Silindung apakah hal itu kesalahan penginjil kita?
(BRMG 1878:94)
Alasan hukum
sekali lagi dimanfaatkan ketika zending dikecam bersama dengan pasukan memasuki
dan mendudukiBahal Batu yang termasuk wilayah Singamangaraja-hal mana sudah
barang tentu merupakan provokasi. Di sini mereka menjawab bahwa
1. Bahal
Batu pun sudah termasuk wilayah Belanda, dan
2.
Singamangaraja hanya menjadi raja di Bangkara.
Menarik
untuk dicatat di sini bahwa hanya setahun sebelumnya, 1977, Gubernur Sumatra
menyuruh penginjil untuk meninggalkan Bahal Batu karena menurutnya Bahal Batu
tidak termasuk wilayah Hindia-Belanda. Pernyataan itu memang kemudian ditarik
kembali, tetapi kisah ini membuktikanbahwa pemerintah Belanda sendiri tidak
mengetahui dengan pasti daerah mana yang termasuk wilayahnya dan mana yang tidak
karena mereka tidak berminat untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah
Silindung.
Pandangan
dan interpretasi Sidjabat tentang sejarah seputar Perang Toba
Pertama
sekarang secara umum diterima, terutama oleh kalangan HKBP. Di dalam salah satu
makalah keluaran HKBP berjudul
Pahlawan
Nasional Indonesia Si Singamangaraja di mata HKBP
oleh Pdt.
Rachman Tua Munthe, Praeses HKBP Distrik III
Humbang,
disebutkan bahwa, ...selama timbulnya bentrokan di antara Si Singamangaraja XII
dengan pemerintah Belanda, Gereja (Zending) berada pada pihak ketiga yang
mencoba mengadakan perjanjian perdamaian. Dengan demikian, pemerintah kolonial
Belanda tidak sejajar dengan Zending dan Gereja.
Munthe juga
mengutip buku berjudul Abastraksi [sic!] Pelayanan DR. Ingwer Ludwig Nommensen
di Tanah Batak:
Waktu perang
Raja Sisingamangaraja XII melawan Tentara Belanda,
Nommensen
mengambil sikap bijaksana dan netral.
Tentu saja
kepentingan zending dan pemerintah sering berbeda, tetapi di berbagai bidang
kepentingan mereka sejajar, dan di bawah Fabri sebagai direktur RMG yang
sekaligus merangkap sebagai guru, para calon misionaris belajar bahwa
kepentingan misi pada ha
kekatnya
sejajar dengan kepentingan pemerinth kolonial.
Fabri, yang
notabene menjadi penulis buku berjudul Bedarf Deutschland der Colonien?(Apakah
Jerman Membutuhkan Daerah Jajahan?)malahan menganjurkan agar penginjilan
dimanfaatkan sebagai alat untuk merintis penjajahan. Baik para misionaris
maupun pegawai pemerintah kolonial yakin bahwa mereka berbuat baik
dengan membawa
peradaban pada bangsa Batak yang mereka cap sebagai liar dan biadab.
Para
misionaris juga menekankan bahwa Belanda senantiasa dapat
mengandalkan
Batak Kristen sebagai teman yang setia:
Betapa orang
Batak Kristen dapat diandalkan tampak jelas sekarang,
sebagai
orang Islam orang Batak takkan mungkin menjadi rakyat yang patuh pada Belanda.
[...] memang benar bahwa orang Silindung yang Kristen adalah teman setia
Belanda, dan bahwa pasukan bantuan mereka berperang bersama pasukan Belanda.
(BRMG 1878:154)
Kesejajaran
zending dan pemerintah tampak pada bahasa yang digunakan Nommensen. Ketika ia
menceritakan kembali perjalanannya mengikuti ekspedisi Toba ia secara konsisten
menggunakan kata ‘kami’. Kata ‘kami’ malahan digunakannya untuk kegiatan yang
dilakukan tentara. Dari hal ini ternyata betapa
Nommensen
mengidentifikasikan diri dengan tentara:
•Sesudah
Residen Boyle bersama Kolonel Engel naikke sini bersama dengan 200 pasukan lagi
maka kamimulai menyerang.
•Sekitar jam
3 sore kampung-kampung itu sudah di tangan kami.
10–12
laki-laki dan sekitar 70 perempuan jatuh ke tangan kami
lalu
ditawan.
•Di pihak
kamidua yang meninggal dan 12 yang cedera.
•[...]
berpura-pura menjadi teman dan mengatakan takluk pada
kami.
•Sedangkan
para pejuang di pihak Singamangaraja disebutnya sebagai musuh:
•Belum ada
berita tentang adanya gerakan dari pihak musuh.
•Pihak
musuhmenyerang dua kali masing-masing sekitar 500
–700 orang.
Serangan kedua lebih kuat tetapi dua-duanya dapat ditangkis dengan mudah dan
tanpa jatuhnya korban di pihak Belanda sementara di pihak musuhada 20 orang
yang cedera dan 2 yang mati. [...] Kalau pasukan di Bahal Batu dapat bertahan
sampai pasukan tambahan tiba maka kemungkinan pihak musuhmenang sangat tipis
karena Belanda unggul dalam hal persenjataan dan disiplin.
•Dari Bahal
Batu mereka menuju arah barat ke Butar dan menaklukkan kampung-kampung yang
berpihak pada musuh.
•Hal
tersebut diutamakan oleh para zendeling supaya para musuhpun bisa melihat niat
baiknya.
•Setelah
kami bekerja dengan tenang selama beberapa minggu
musuhkami
yang jahat bergerak lagi.
•Simoneit
dan Israel tinggal di sini untuk membantu kami kalau
-kalau pos
diserang musuh.
•Pada malam
hari tanggal 16 Februari musuhmenembaki kamp tentara dan meninggalkan tiga
surat dari buluh yang mengumumkan perang terhadap kami.
•Setiap hari
musuhdatang, kadang-kadang ribuan orang.
•Kebanyakan
musuhberasal dari daerah di sekitar Danau Toba,
dari Butar
dan Lobu Siregar, digerakkan oleh Singamangaraja, seorang demagog yang
menghasut dan mencelakakan rakyatnya.
•Beberapa
kali peluru masuk ke rumah pada malam hari, dua kali
musuhberusaha
untuk membakarnya.
Masih banyak
lagi contoh dapat disebut yang menunjukkan bahwa para zending Batakmission
jelas berpihak pada Belanda dan menganggap para pejuang yang ingin
mempertahankan kemerdekaannya sebagai musuhnya.
Argumentasi
Sidjabat dan pengarang lain yang sering menekankan adanya jarak antara
penginjil RMG dan pihak Belanda karena bangsa mereka berbeda, tidak dapat
diterima. Para penginjil RMG berkebangsaan Jerman sementara pemerintah kolonial
dijalankan oleh bangsa Belanda. Dengan demikian, begitu kesimpulannya,
penjajahan
bukan kepentingan para penginjil. Hal itu keliru karena, sesuai dengan
pelajaran mereka di seminaris RMG, penjajahan bangsa putih terhadap bangsa yang
berwarna adalah hal yang penting demi mengangkat martabat bangsa keturunan Ham.
Pihak penginjil RMG sama sekali tidak anti penjajahanmelainkan
mendukungnya
dengan penuh hati.
Kita juga
bisa melihat dari laporan Nommensen bahwa ia tidak begitu
membedakan
antara Belanda dan Jerman dan lebih menekankan kepentingan bersama dengan
menggunakan istilah Eropa daripada Belanda:
Hal yang
paling penting adalah bahwa Toba keluar dari isolasinya, terbuka pada pengaruh
Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa sehingga dengan sangat mudah zending kita
bisa masuk. Memang ada kemungkinan bahwa orang Toba membenci orang Eropa
setelah Belanda mengalahkan danmembakar kampung mereka. Namun hal itu tidak
terjadi. (BRMG 1882:202)
Perlu juga
diingatkan bahwa orang Belanda waktu itu masih menamakan bahasanya ‘Nederduits’
(Jerman Rendah) sementara Nommensen sendiri penutur asli bahasa Frisia yang
merupakan salah satu dialek Jerman Rendah yang sangat dekat dengan bahasa
Belanda. Selain itu, sesuai dengan pelajaran yang diperolehnya ketika belajar
di seminaris, Belanda dan Jerman masih merupakan
keturunan
ras Germania yang sama.
Sebagaimana
jauh para penginjil mengidentifikasikan diri dengan para penjajah tampak pada
kutipan berikut:
Untuk
menilai benar salahnya penaklukan Toba yang dilakukan dengan begitu cepat dan
dengan sangat sedikit biaya maupun jumlah korban, maka perlu diperhatikan
butir-butir berikut: [...] (BRMG 1882:202)
Rupanya bagi
zending jumlah korban di pihak musuh mereka(pejuang
Singamangaraja)
tidak perlu dihitung. Tidak diketahui dengan pasti berapa banyak orang
meninggal di pihak pejuang Singamangaraja dan sekutunya serta di kalangan
penduduk sipil.
Paling tidak
puluhan namun lebih mungkin sampai beberapa ratus korban yang tewas belum lagi
yang cedera. Jumlah yang tidak
sedikit,
tetapi yang diungkapkan zending dalam konteks ini malahan biaya perang.
Kedekatan
Nommensen dan para penginjil lain dengan penjajah sebenarnya tidak mengherankan
mengingat pendidikan yang mereka peroleh di RMG. Fabri, Direktur RMG,
menekankan agar para penginjil senantiasa menjalin kerja sama yang erat dengan
pemerintah kolonial karena tujuan zending dan pemerintahan
kolonial
pada hakikatnya sama.
RMG memang
senantiasa berusaha untuk melakukan konsolidasi agama dan politik, tidak hanya
di Batakmission tetapi juga di wilayah kerja yang lain seperti di Afrika
Selatan. Di situ pun RMG tetap berusaha untuk menjalin hubungan yang baik
dengan pemerintah kolonial dan membantunya. Sejak pemberontakan Herero pada
tahun 1904
para misionaris tidak menaruh simpati apa pun pada gerakan kemerdekaan
masyarakat hitam di Afrika Selatan. Demikian juga di Tanah Batak.
Ketika benih
gerakan kemerdekaan mulai tumbuh di kalangan orang Batak, dan ketika Kristen
Batak meminta agar mereka dapat menentukan sendiri nasib gerejanya maka RMG
dengan sangat tegas menolak gagasan kemandirian gereja Batakdan mengutuk
organisasi Batak seperti Hatopan Kristen Batak dengan alasan bahwa kemandirian
bertentangan dengan kehendak Tuhan yang memang sudah menakdirkan orang putih
sebagai pemimpin
1.Nommensen juga memuji perwira dan
pegawai administrasiBelanda:
Berkat
tangan Tuhan, [...] dan hal ini menjadi tanda bahwa Tuhan
menghendaki
rakyat hidup dalam kedamaian, berkat tangan Tuhan
ekspedisi
militer dikepalai oleh seorang yang sudah bertahun-tahun
mengenal
orang Batak, orang yang mengetahui kepentingan rakyat, dan yang didampingi
perwira yang merasa belas kasihan deng
an musuh,
yang disegani musuh karena keberaniannya menyerang, yang dengan lapang hati
tidak mengejar mereka yang lari. Dengan demikian orang Batak dapat kesan betapa
besar keagungan dan kemuliaan orang Eropa sehingga mereka tidak dapat membenci
kita, apalagi karena Tuhan menunjukkannya bahwa mereka sendiri bersalah. (BRMG
1882:204)
Perlu
ditekankan bahwa Nommensen membantu pemerintah dan tentara Belanda dengan rela
hati tanpa ada unsur paksaan apa pun. Nommensen melakukannya karena menurut apa
yang dipelaja
rinya di
seminaris RMG di Barmen para penginjil berkewajiban untuk selalu bekerjasama
dengan pihak pemerintah kolonial dan karena ia percaya bahwa orang Batak hanya
bisa menjadi manusia yang beradab bila berada di bawah kekuasaan bangsa Eropa.
Belakangan
ini saya membaca sebuah esai di internet yang ditulis oleh Limantina Sihaloho,
seorang teolog dari Sumatra Utara:
Secara
pribadi, saya juga kagum pada I.L. Nommensen. Masalahnya,
1Lihat Aritonang 1988.
kagum saja
tidak cukup. Menjadikan seseorang menjadi legenda bahkan mitos juga dapat
berbahaya. Sayangnya manusia mempunyai
kecenderungan
untuk melegendakan dan memitoskan seseorang terutama yang telah lama meninggal.
[...] Nommensen adalah anak zamannya, dengan segala kelebihan dan
kekurangannya.
Makalah ini
tidak bermaksud untuk mengurangi rasa kagum pada laki
-laki suku
Frisia dari pulau Nordstrand itu, tetapi sebagai salah satu sumbangan agar I.L.
Nommensen dan tokoh penginjilan Batak lainnya dipandang sebagai “anak zaman
dengan segala kelebihan dan kekurangannya” dan tidak sebagai tokoh legendaris.
Seorang
tokoh dari abad ke-19 tidak patut dinilai berdasarkan nilai-
nilai abad
ke-21. Bila sekarang seorang Jerman mengatakan bahwa bangsa Jerman lebih unggul
dari bangsa lain maka orang itu pasti ditertawakan. Konsep keunggulan ras kini
dianggap sebagai sesuatu dari zaman yang berlalu yang sama sekali tidak ada
tempat dalam masyarakat Jerman modern. Pada awal abad ke-21 paham
keunggulan
ras Germania dianggap sebagai paham yang sesat sementara pada abad ke-19,
zamannya Nommensen, keungg
ulan ras
putih dianggap sebagai kenyataan.
Nommensen
dilahirkan pada tahun 1834 di pulau Nordstrand (yang bila diterjemahkan berarti
Pantai Utara). Ketika ia berumur 14 tahun gerakan demokrasi Jerman memberontak
melawan kekaisaran, namun revolusi itu gagal.
Waktu
Nommensen masuk seminaris RMG pada tahun 1857 Jerman belum bersatu tetapi
terdiri atas puluhan negeri kecil yang masing
-masing
berhak untuk membuat peraturan sendiri. KetikaNommensen pindah ke Pearaja,
negeri Jerman (Deutsches Reich) baru berumur
dua tahun.
Setelah kerajaan-kerajaan kecil akhirnya bersatu dalam
Deutsches
Reich maka Jerman mengalami perkembangan yang pesat dan barangkali menjadi
negara termaju di dunia. Namun, beda dengan negara Eropa lainnya, Jerman, yang
baru menjadi sebuah negarapada tahun 1871, belum memiliki daerah penjajahan.
Nommensen dan
penginjil RMG lainnya bukan hanya anak zaman, tetapi juga dipengaruhi oleh
aliran teologi yang dominan di seminaris RMG.
0 komentar:
Posting Komentar