English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Senin, 14 Februari 2011

0
SEJARAH SINGKAT SUKU SIMALUNGUN DAN KERAJAAN -KERAJAAN NYA

 
Raja2 simalungun 
 Simalungun merupakan suku atau etnis dengan identitas dan budayanya yang terbentuk dalam proses sejarah perkembangannya. Sebagai identitas, Simalungun dapat dibedakan dari suku-suku bangsa lainnya dari adat, budaya, kebiasaan, sejarah dan segala aspek kehidupannya. Demikianlah sehingga orang dapat mengenal suku Simalungun dari “otherness” kelainan/differensinya dari suku-suku lain.
SEJARAH SINGKAT SUKU SIMALUNGUN
Dari sumber-sumber kuno dan cerita-cerita rakyat di Simalungun, orang yang kemudian menjadi suku Simalungun berketurunan dari ragam nenek moyang. Dalam perjalanan sejarahnya, suku Simalungun datang dalam dua gelombang. Gelombang pertama (Proto Simalungun) diperkirakan datang dari India Selatan (Nagore) dan India Timur (Pegunungan Assam) sekitar abad ke-5 menyusuri Birma terus ke Siam dan Melaka selanjutnya menyebrang ke Sumatera Timur dan mendirikan Kerajaan Nagur dari Raja dinasti Damanik. Dan kemudian gelombang kedua (Deutro Simalungun) yang merupakan pembaruan suku-suku tetangga dengan suku Simalungun asli (Herman Purba Tambak, SIB 3/9/2006, hlm. 9).
Selanjutnya panglima-panglima (Raja Goraha) Kerajaan Nagur bermarga Saragih, Sinaga dan Purba dijadikan menantu oleh Raja Nagur dan kelak mendirikan kerajaan-kerajaan : Silou (Purba Tambak), Tanoh Djawa (Sinaga), Raya (Saragih). Kerajaan-kerajaan ini pada abad XIII-XV mengalami serangan-serangan dari tentara Singasari, Majapahit, Rajendra Chola dari India dan terakhir Aceh, sultan-sultan Melayu dan Belanda. Terkenal dalam cerita-cerita rakyat Simalungun akan ”hattu ni sappar” yang melukiskan situasi mengerikan di Simalungun akibat peperangan itu, mayat-mayat bergelimpangan, kericuhan sehingga mengakibatkan wabah penyakit kolera yang merajalela.
Dan konon menurut legenda, orang Simalungun mengungsi ke seberang Laut Tawar (obat penawar Sappar) sampai ke sebuah pulau yang kemudian dinamai “Samosir” (Sahali misir). Kelak keturunan orang Simalungun yang berdiam di Samosir kembali lagi ke kampung halamannya (huta hasusuran) di Nagur dan dilihatlah daerah itu sudah ditinggalkan orang karena mengungsi, sepi dan yang tersisa hanya peninggalan rakyat Nagur, sehingga dinamakanlah daerah Nagur itu “sima-sima ni nalungun” dan lama kelamaan menjadi Simalungun (daerah yang sunyi sepi) (M.D Purba, 1997).
Pembauran dengan suku-suku tetangga khususnya dari Pulau Samosir, Silalahi, Karo, dan Pakpak menyebabkan adanya timbul marga baru di Simalungun, seperti: marga Sidauruk, Sidabalok, Siadari, Simarmata, Simanihuruk, Sidabutar, Munthe, Sijabat yang berafiliasi dengan marga Saragih, Manorsa, Simamora, Sigulang Batu, Parhorbo, Sitorus dan Pantomhobon yang berafiliasi dengan marga Purba, Malau, Limbong, Sagala, Gurning, Manikraja yang berafiliasi dengan marga Damanik, Sipayung, Sihaloho, Sinurat, Sitopu yang berafiliasi dengan marga Sinaga (tetapi sejak Revolusi Sosial sudah kembali ke marga asalnya). Selain itu masih ada marga Lingga, Manurung, Butar-butar, Sirait di Simalungun timur dan barat. Demikianlah sampai zaman modern ini “warna-warni” suku Simalungun ini menyebabkan suku Simalungun sangat toleran dan bahkan nyaris “hilang” karena terlalu terbukanya dengan para pendatang. Belum lagi dengan suku Simalungun yang masuk Islam sejak abad XV di Asahan dan Deli serta Serdang mengaku dirinya Melayu dan menghilangkan identitasnya sebagai suku Simalungun.
Dahulu kala menurut Tuan Taralamsyah Saragih (surat pribadi,1963), orang Simalungun asli itu merupakan keturunan dari empat raja-raja besar yang berasal dari Siam dan India dengan rakyatnya masuk ke Sumatera Timur terus ke Aceh, Langkat dan daerah Bangun Purba dan Bandar Kalifah sampai Batubara. Akibat desakan orang “Djau”, berangsur-angsur mereka mencapai pinggiran Danau Toba sampai ke Samosir. Adapun keempat marga-marga Simalungun yang empat populer dengan nama SISADAPUR (Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba) berasal dari “harungguan bolon” (permusyawaratan besar) raja-raja yang empat itu agar jangan saling menyerang, bermusuhan dan “marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang munssuh.”
Keempat raja itu adalah:


1. Raja Nagur, Marga Damanik = Simada Manik, Simalungun: “Manik” = tonduy,sumangat, tunggung, (yang bersemangat, berkharisma, agung) halanigan, tercerdas Raja Nagur on marimbang raja na legan janah bahatan balani. Mereka ini berasal dari kaum bangsawan India Selatan dari Kerajaan Nagore. Keturunan Raja Nagur ini pada abad ke-12 terbagi menjadi tiga bagian menurut keturunan ketiga putera raja Nagur yang mengungsi dari Pamatang Nagur di Pulau Pandan akibat serangan Raja Rajendra Chola dari India, yaitu : Marah Silau (yang menurunkan Raja Manik Hasian, Raja Jumorlang, Raja Sipolha, Raja Siantar, Tuan Raja Sidamanik dan Tuan Raja Bandar), Soro Tilu (yang menurunkan marga raja Nagur di sekitar gunung Simbolon: Damanik Nagur, Bayu, Hajangan, Rih, Malayu, Rappogos, Usang, Rih, Simaringga, Sarasan, Sola), Timo Raya (yang menurunkan raja Bornou, Raja Ula dan keturunannya Damanik Tomok). Kemudian datang marga keturunan Silau Raja, Ambarita Raja, Gurning Raja, Malau Raja, Limbong, Manik Raja mengaku Damanik di Simalungun yang berasal dari Pulau Samosir.

2. Raja Banua Sobou bermarga Saragih. Saragih: Simalungun : Simada Ragih; Ragih = atur, susun, tata (pemilik aturan, pengatur, pemegang undang-undang, penyusun). Keturunannya adalah Saragih Garingging yang pernah merantau ke Ajinembah dan kembali ke Raya, Saragih Sumbayak keturunan Tuan Raya Tongah, Pamajuhi, dan Bona ni Gonrang. Pada zaman Tuan Rondahaim, marga Turnip, Sidauruk, Simarmata, Sitanggang, Munthe, Sijabat, Sidabalok, Sidabukke, Simanihuruk mengaku dirinya Saragih di Simalungun. Jelaslah bahwa hanya dua keturunan Raja Banua Sobou yakni : Sumbayak dan Garingging. Garingging kemudian pecah lagi menjadi Dasalak dan Dajawak. Dasalak menjadi raja di Padang Badagei, dan Dajawak merantau ke Rakutbesi dan Tanah Karo dengan Marga Ginting Jawak. Sedangkan Pardalan Tapian adalah berasal marga dari Samosir.

3. Raja Banua Purba bermarga Purba. Purba adalah bahasa Sansekerta “purwa” artinya timur, gelagat masa datang, pengatur, pemegang undang-undang, tenungan pengetahuan, cendikiawan/sarjana. Keturunannya adalah :Tambak, Sigumonrong, Tua, Sidasuha (Sidadolog, Sidagambir). Kemudian ada lagi Purba Siborom Tanjung, Pakpak, Girsang, Tondang, Sihala, Raya. Pada abad ke-18 datang marga Simamora dari Bakkara melalui Samosir ke Haranggaol dan mengaku dirinya Purba, merekalah yang menurunkan marga Purba Manorsa yang tinggal di Tangga Batu dan Purbasaribu.

4. Raja Saniang Naga bermarga Sinaga atau Tanduk Banua (terletak di perbatasan Simalungun dengan tanah Karo). Marga Sinaga = Simada Naga adalah marga asli Simalungun. Naga dikenal juga dengan mitologi dewa yang penjaga bumi yang menyebabkan gempa dan tanah longsor. Keturunannya adalah marga Sinaga di Kerajaan Tanah Jawa, Batangiou di Asahan. Tuan Girsang Sipangan Bolon adalah anakboru Raya pada zaman kerajaan-kerajaan Simalungun. Pada abad ke XIV saat serangan Majapahit, pasukan dari Jambi dipimpin Panglima Bungkuk dengan pasukannya melarikan diri ke Kerajaan Batangiou dan mengaku dirinya Sinaga, dan menurut Taralamsyah Saragih nenek moyang mereka ini kemudian menjadi raja Tanoh Djawa dengan marga Sinaga Dadihoyong setelah mengalahkan Tuan Raya Si Tonggang marga Sinaga dari kerajaan Batangiou dalam adu sumpah (sibijaon) (Tideman, 1922). Sementara Tuan Gindo Sinaga keturunan Tuan Djorlang Hataran mengaku Sinaga keturunan raja Tanoh Djawa berasal dari India. Beberapa keluarga besar Partongah Raja Tanoh Djawa menghubungkannya dengan daerah Naga Land (Tanah Naga) di India Timur yang berbatasan dengan Birma yang memang memiliki banyak Similaritas dengan adat kebiasaan, postur wajah dan anatomi tubuh serta bahasa dengan suku Simalungun dan Batak lainnya.
Orang Simalungun tidak terlalu mementingkan soal “silsilah” karena penentu partuturan di Simalungun adalah “hasusuran” (tempat asal nenek moyang) dan tibalni parhundul dalam horja-horja adat. Dahulu kalau orang Simalungun bertemu, bukan langsung bertanya “aha marga ni ham?” tetapi “hunja do hasusuran ni ham?” seperti pepatah Simalungun “Sin Raya, sini Purba, sin Dolog, sini Panei. Na ija pe lang na mubah, asal ma marholong ni atei.” Kenapa? Karena seluruh marga raja-raja Simalungun itu diikat oleh persekutuan adat yang erat oleh karena konsep perkawinan antara raja dengan “puang bolon” (permaisuri) yang adalah puteri raja tetangganya. Seperti raja Tanoh Djawa dengan puang bolon dari Kerajaan Siantar (Damanik), raja Siantar yang puang bolonnya dari Partuanan Silappuyang, raja Panei dari putri raja Siantar, raja Silau dari putri raja Raya, raja Purba dari putri raja Siantar dan Silimakuta dari putri raja Raya atau Tongging.
Zaman raja-raja Simalungun, orang yang tidak jelas garis keturunannya dari raja-raja disebut “jolma tuhe-tuhe” atau “silawar” (pendatang). Zaman dahulu mereka ini akibat hukum marga yang keras di Simalungun menyatukan dirinya dengan marga raja-raja agar mendapat hak hidup di Simalungun. Demikianlah sehingga makin bertambah banyak marga di Simalungun. Tetapi meski demikian sejak dahulu hanya ada empat marga pokok di Simalungun yakni Sisadapur : Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba. Setelah raja-raja dikuasai Belanda sejak ditandatanganinya Korte Verklaring (Perjanjian Pendek) tahun 1907 dan dihapuskannya kerajaan/feodalisme dalam aksi Revolusi Sosial tanggal 3 Maret 1946 sampai April 1947, peraturan tentang marga itu hapus di Simalungun. Masing-masing marga kembali lagi ke marga aslinya dan ke sukunya semula.
Jadi salah satu cara untuk mempertahankan identitas Simalungun adalah dengan mengetahui garis keturunan orang Simalungun itu sendiri dan berbudaya, beradat, berbahasa Simalungun agar tidak larut dengan etnis lain yang memiliki kemiripan marga, budaya, bahasa dan adat-istiadat.

Dibawah ini ada beberapa cuplikan tentang Kerajaan-kerajaan di Simalungun seperti “Kerajaan Nagur”

KERAJAAN NAGUR DI SIMALUNGUN: 

CATATAN DARI PENGELANA ASING DI SUMATRA TIMUR 


rm.bolon siantar

1. Pengantar 
 
Terdapat dua kerajaan kuno terbesar (the great ancient kingdom) di Sumatra Utara, yaitu Aru dan Nagur. Kerajaan Aru sangat popular dalam tulisan Karo dan khususnya Melayu. Artifak kerajaan ini masih berdiri kokoh berupa batu Nisan bernuansa Islam (Islamic tomb) yang terhampar di Kota Rentang Hamparan Perak maupun Benteng Putri Hijau di Delitua Namurambe. Sedangkan kerajaan Nagur dikenal luas sebagai kerajaan Batak yakni Simalungun.
Kedua kerajaan ini, rentan mendapat serangan dari Aceh dalam rencana unifikasi kerajaan di Sumatra dalam genggaman Aceh. Seperti diketahui, Kerajaan Aceh berencana untuk mempersatukan seluruh kerajaan di Sumatra sehingga melakukan agresi dan pelenyapan kerajaan hingga Bintan. Tentang hal ini, dapat dibaca dalam buku Tarich Atjeh dan Nusantara (1967) ataupun Singa Atjeh (1957) tulisan HM. Zainuddin. Demikian pula dalam buku Kerajaan Aceh (2007) tulisan Denys Lombard, Kronika Pasai (1987) oleh Ibrahim Alfian, Aceh: Dimata Kolonialis (1984) tulisan Snouck Hurgronje, atau pula surat Iskandar Muda kepada King James-I di Inggris pada tahun 1615 (Golden Letter: Surat Emas Raja Nusantara, 1997: Lontar Indonesia). 


2. Catatan Tentang Nagur 


Kerajaan Nagur diyakini merupakan salah satu kerajaan besar di Sumatra Utara yang berlokasi di Simalungun, penguasa ataupun pemerintahnya adalah dinasti Damanik. Sumber-sumber tulisan tentang Nagur umumnya diperoleh dari tulisan pengelana Tiongkok seperti Cheng Ho dan Ma Huan. Tulisan-tulisan tersebut telah dikompilasi oleh Groenoveltd, dalam Historical Notes in Indonesia and Malay (1960). Selanjutnya, menurut catatan Parlindungan (2007) dalam bukunya Tuanku Rao, Nagur berdiri pada abad ke-5 dan runtuh pada abad ke-12. Dalam buku tersebut diuraikan bahwa, Raja Nagur terakhir yang bernama Mara Silu, pada saat keruntuhan swapraja tersebut melarikan diri ke Aceh, berganti nama dan menjadi Islam. Di Aceh ia dikenal dengan gelar Malik As Saleh (Malikul Saleh). Dalam Riwayat Raja-Raja Pasai (penulis dan tahun penulis tidak diketahui), diakui bahwa pendiri kerajaan Pasai adalah Merah Silu.
Namun demikian, apabila angka yang disebutkan oleh Parlindungan tersebut dikomparasikan dengan laporan admiral Zheng Zhe (Cheng Ho) maka akan didapat bahwa, hingga tahun 1423, kerajaan Nagur masih berdiri. Didalam buku Zheng Zhe: Bahariawan Muslim Tionghoa (2002) disebut bahwa, admiral tersebut mengunjungi Nagur sebanyak 3 (tiga) kali. Pasukannya sangat terkenal dengan senjata panah beracun dan berhasil menewaskan raja Aceh. Dalam laporan pengelana Tionghoa tersebut, nama Nagur dituliskan dengan ‘Nakkur’; ‘Nakureh’ atau ‘Japur’. Hal senada juga diketahui dalam laporan Ma Huan yakni Ying Yei Seng Lan, dimana nama Nagur yakni ‘Napur’ merupakan kerajaan ‘Batta’
Selanjutnya, dalam laporan Tomme Pires, penguasa Portugis di Malaka (1512-1515), dalam bukunya Summa Oriental terjemahan Cortesao (1944), banyak menyinggung nama Nagur yang berdekatan dengan Aru. Atau dalam tulisan Mendes Pinto yang berjudul Acehs Crusades against the Batak 1539. Demikian pula laporan Marco Polo yang melakukan perjalanan ke Sumatra pada tahun 1292 yakni, Cannibals and Kings: Nothern Sumatra in the 1290s. Pengelana lainnya adalah laksamana Prancis bernama Augustin De Beaulieu yang melakukan perjalanan ke Sumatra (Pasai) pada tahun 1621 dalam tulisannya yang berjudul The Tyranny of Iskandar Muda. Demikian pula pengelana Maroko Ibn Battuta yang singgah di Pasai pada tahun 1345 dalam laporannya The Sultanate of Pasai around 1345.
Kerajaan Nagur juga banyak disebut dalam tulisan-tulisan Melayu seperti yang dituliskan oleh T. Lukman Sinar SH (Pewaris kesultanan Serdang), dalam bukunya Sari Sejarah Serdang Jilid-I (1974) ataupun Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu Sumatra Timur (2007), ataupun TM. Lah Husny dalam bukunya Lintasan Sejarah Peradaban Penduduk Melayu Deli Sumatra Timur, (1976). Demikian pula dalam buku Tarik Aceh Jilid II yang batal diterbitkan. Selanjutnya, dalam tulisan-tulisan versi Karo seperti yang dilakukan oleh Brahmo Putro dalam bukunya Karo dari Zaman ke Zaman, (1984) justru cenderung ditulis dengan emosional, dengan cara meng-Karo-kan ARU, Nagur dan Batak Timur Raya. Sebagaimana diketahui, yang dimaksud dengan ‘Timur Raja’ dalam tulisan pemerintah colonial adalah kawasan Simalungun karena posisinya yang percis berada di pesisir Timur Sumatra Utara.
Terbukanya tabir Sumatra secara heurastik, dimulai saat penguasa Inggris di Bengkulu yakni Thomas Raffles, mengutus William Marsden pada tahun 1770 untuk menyelidiki potensi ekonomi Sumatra. Buku penyelidikan tersebut kini sudah dibukukan dengan judul “The History of Sumatra (2007). Di dalam buku tersebut banyak dituliskan tentang potensi ekonomi di Asahan yang disebutnya dengan term ‘Batta’ (Batak). Kemungkinan yang dimaksud adalah orang Simalungun yang bermukim didaerah Itu. Selanjutnya, pada tahun 1823, Whrite Philips, Gubernur Jenderal Inggris di Penang mengutus John Anderson untuk penyelidikan lebih intensif terhadap potensi ekonomi Sumatra. Buku laporan Anderson yang terkenal itu adalah Mission to the East Cost Sumatra yang diterbitkan pada tahun 1826. Buku tersebut, juga telah mendeskripsikan keadaan di Asahan atau pesisir timur Sumatra. Kuat dugaan bahwa penghuni Asahan pada saat itu adalah orang Simalungun dimana daerah domisili orang Simalungun pada saat itu memanjang hingga Asahan, Batubara dan Pagurawan (Juandaharaya dan Martin Lukito, Tole den Timorlanden das Evanggelium, 2003). Buku yang lebih sempurna, berdasarkan tinjauan akademis dan sistematika ilmiah adalah karangan Edwin M. Loeb (1935) dengan judul Sumatra: Its History and the People. Dalam karangan itu, juga disebut tentang riwayat kerajaan di Simalungun.
Penyelidikan tentang kondisi sejarah, kebudayaan dan penguasaan daerah sangat penting dilakukan terutama terhadap laporan-laporan pemerinatah Kolonial seperti laporan kepurbakalaan (Oudheikundig Verslag, OV), Laporan umum (Algemeen Verslag, AV), laporan Politik (Politiek Verslag), Laporan Penanaman (Cultuur Verslag) atau juga Laporan Serah Terima Jabatan (Memorie van Overgrave), seperti yang diwajibkan dalam tata administrasi kolonial, karena laporan-laporan tersebut banyak menuliskan tentang kondisi wilayah yang sedang dikuasai. Di Simalungun, nama-nama yang mesti diperhatikan adalah Tidemann, Kroesen, Theis, Westenberg, Neumann, Voorhoeve, dan lain-lain. 


3. Manuskrip Tentang Nagur 


Manuskrip yang ada dan meriwayatkan tentang kerajaan Nagur adalah Parpadanan Na Bolag (PNB). Namun demikian, manuskrip itu membutuhkan analisis tajam serta kehatihatian yang tinggi karena banyak menyebut nama person, peristiwa dan daerah yang kini tidak dapat di compare dengan peta yang ada. Misalnya, dimanakah Padang Rapuhan, atau dimanakah Hararasan, atau Bondailing?. Oleh sebab itu, terhadap manuskrip tersebut mutlak dilakukan Discourse Analysis, sehingga dapat memunculkan makna yang terkandung dalam teks atau naskah.
Literatur Simalungun yang mencoba menyajikan tentang Nagur adalah Hukum Adat Simalungun (Djahutar Damanik, 1984) atau Sejarah Simalungun (TBA Tambak, 1976) tidak banyak mengupas tentang manuskrip dan keberadaan Nagur, namun cenderung menuliskannya berdasarkan oral tradition version. Demikian pula pada buku Pustaha Simalungun yang tersimpan di Perpustakaan Daerah Sumut yakni hasil transliterasi latin oleh JE. Saragih, masih terbatas pada tradisi pengobatan yang ada di Simalungun, tak satupun dalam pustaha tersebut merujuk pada nama ‘Nagur’.
Persoalan lainnya adalah, bahwa riwayat kerajaan Nagur (Nakkureh, Nakkur, Japur) banyak disebut dalam laporan pengelana Eropa dan Tiongkok, namun dimanakah letak daripada kerajaan tersebut masih membutuhkan analisis panjang yang melibatkan Arkeolog dan Sejarawan. Dengan demikian, riwayat kerajaan Nagur dinasti Damanik di Simalungun tersebut masih memerlukan penelitian dan pengkajian secara menyeluruh (komprehensif) terutama dengan melibatkan arkeolog dan sejarawan serta antropolog sehingga riwayat kerajaan besar tersebut semakin sempurna dan berlandaskan perspektif ilmiah. Lagipula, penelitian dan kajian ilmiah, mutlak dilakukan untuk mendukung sejarah lisan yang berkembang dalam masyarakat.


4. Penutup 


Berdasarkan persepsi literer (kepustakaan) tersebut diatas, diyakini bahwa kerajaan Nagur pernah eksis di Sumatra Timur tepatnya di Simalungun. Paling tidak hal tersebut dibuktikan dengan adanya catatan-catatan dari pengelana asing yang singgah di Sumatra Timur dari abad ke-6 hingga ke 16.
Demikian pula tersedianya manuskrip yang meriwayatkan kerajaan tersebut, ataupun dikenalnya kerajaan tersebut melalui tradisi lisan. Namun demikian, untuk memperjelas eksisitensi kerajaan tersebut, baiknya dilakukan penelitian dan pengkajian yang melibatkan lintas disiplin sehingga dapat diterima kebenarannya. Paling tidak, saran ini bermanfaat atau ditujukan kepada pemerintah kabupaten Simalungun di Pematang Raya, ataupun pihak-pihak, badan atau instansi yang berwenang, demikian pula lembaga kemasyarakatan Simalungun yang ada.- Erond L. Damanik, M.Si

raja siantarRaja Siantar

0 komentar:

Posting Komentar

 
TtuaPardede | © 2010 by DheTemplate.com | Supported by Promotions And Coupons Shopping & WordPress Theme 2 Blog