Sejarah
Masuknya Injil ke Tanah Batak
“Gerakan
penginjilan [...] bermula bertepatan dengan waktu munculnya kolonialisme,
imperialisme, dan, sebagai akibatnya, rasisme. Oleh sebab itu maka gerakan
penginjilan secara hakiki terkait dengan sejarah rasisme
Orang-orang yang memainkan peranan
penting pada sejarah masuknya injil ke Tanah Batak kini hampir terlupakan. Nama
seperti Franz Wilhelm Junghuhn, Pieter Johannes Veth, Herman Neubronner van der
Tuuk, dan Friedrich Fabri kini jarang disebut dalam publikasi yang berkaitan
dengan sejarah penginjilan di Indonesia.
Ahli botani
F. W. Junghuhn mungkin orang pertama yang menganjurkan agar injil dibawa ke
Tanah Batak. Usulan Junghuhn kemudian menarik perhatian direktur
Serikat
Penginjilan Belanda P. J. Veth. H.N. van der Tuuk menjadi orang pertama yang
menerjemahkan injil kepada bahasa Batak, dan Friedrich Fabri menjadi 'otak' di
balik penginjilan orang Batak.
Franz
Wilhelm Junghuhn(1809–1864) lahir di Mansfeld, Kerajaan Westfalia (sekarang
menjadi bagian Jerman). Oleh orang tuanya ia dipaksa menjadi seorang dokter
namun ia jauh lebih tertarik pada botani dan geologi. Pada tahun 1834 ia pindah
ke Belanda dan pada tahun 1852 Junghuhn memilih menjadi warga negara Belanda.
Karena ingin ke Hindia-Belanda maka ia mendaftar di tentara Belanda sebagai
dokter tentara. Tahun 1836 Junghuhn tiba di Jawa dan pada tahun 1840 ia
ditugaskan ke Padang.
Di dalam kapal ia bertemu dengan Pieter Merkus, seorang
pejabat yang pada tahun 1841 menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Berkat
bakat geologi dan botani Merkus menugaskannya untuk meneliti Tanah Batak yang pada saat itu
masih merdeka.
Pada waktu
itu pemerintah kolonial masih berpegangan pada kebijakan untuk tidak memperluas
wilayah Hindia Belanda melainkan membatasinya pada Jawa, Maluku, dan beberapa
daerahdi Sumatra. Karena politik tidak campur tangan dalam urusan raja-raja
diNusantara (onthoudingspolitiek) maka Belanda tidak mempunyai rencana konkret
untuk mencaplok Tanah Batak, tetapi karena sudah
ada beberapa
raja yang mengutarakan niatnya tunduk pada
Belanda maka
pemerintah Belanda menganggapnya penting untuk lebih mengetahui keadaan daerah
yang nantinya dapat dipergunakan kalau sudah tiba saatnya untuk masuk ke Tanah
Batak.
Informasi
yang dicari tentu informasi yang sesuai dengan kebutuhan penjajah.
Mereka ingin
mengetahui topografi daerah, kesuburan tanah, jalan darat dan jalan sungai,
jarak antar kampung, iklim, kesuburan tanah, hasil bumi, sumber daya
............................
2
Philip
Potter, Sekretaris Jenderal Dewan Gereja Se-Dunia tahun 1972
-1984: “Die
missionarische Bewegung (...) entstand genau in der Zeit, als Kolonialismus,
Imperialis-mus und als eine Folge davon der Rassismus aufkamen. Deshalb ist die
missionarische Bewegung auch auf Gedeih und Verderb mit der Geschichte des
Rassismus verbunden.” [Dikutip dari Jura 2002:285]
alam,
potensi pertambangan, jenis kayu yang cocok untuk membangun kapal, dsb.
Junghuhn juga diminta membuat peta dan mencari informasi tentang kebudayaan,
adat, dan pemerintahan di Tanah Batak termasuk lembaga-lembaga pemerintahan
yang ada, sistem hukum yang berlaku, adat-istiadat, bahasa, aksara, dan juga
tentang
kanibalisme.
Pada 2
Oktober 1840 Junghuhn tiba di Teluk Tapanuli. Kontrak kerjanya tidak terbatas
sehingga dapat disimpulkan bahwa pemerintah Belanda menghendaki Junghuhn lama
tinggal di daerah Batak untuk melakukan penelitian yang sungguh-sungguh. Akan
tetapi keadaan kesehatan tidak mengizinkannya tinggal lama di daerah
Batak. Sesudah menetap di Barus selama delapan belas bulan terpaksa Junghuhn
kembali ke Jawa dalam keadaan sakit parah. Ekspedisi pertama Junghuhn ke Tanah
Batak merdeka dimulai pada pertengahan November 1840 dan membawanya keHurung,
Humbang, dan Lembah Silindung. Pada akhir Desember Junghuhn
sudah harus kembali karena jatuh sakit.
Perjalanan
kedua dimulai pada 2 November 1841 tetapi hanya berlangsung selama dua minggu
karena sekali lagi Junghuhn jatuh sakit. Pada ekspedisi yang pertama Junghuhn
didampingi oleh lima belas kuli pengangkat barang dan pembantunya yang terdiri
dari orang Melayu, Nias, dan Jawa. Dua raja Batak dari wilayah pemerintah yang
masing-masing membawa anak buahnya sendiri menjadi pengawal dan sekaligus
penerjemahnya. Kedua orang Batak dan pembantunya dipersenjatai dengan bedil
yang modern. Seluruh anggota rombongan sekitar 25 orang (Angerler 1993: 6).
Walaupun
sakit-sakitan selama berada di Tanah Batak Junghuhn sempat menulis dua jilid
dengan hasil penelitiannya berjudul Die Battaländer auf Sumatra. Bukunya dibagi
atas enam belas BAB yang mengandung informasi tentang asal-usul, ras,
kebudayaan, adat
-istiadat,
sistem hukum, perbudakan, kanibalisme, permainan,musik, dan
terutama tentang segala kegiatan ekonomi termasuk pertanian, peternakan, dan
irigasi.
Sesuai
dengan permintaan pemerintah kolonial yang mempekerjakannya, Junghuhn memberi
rekomendasi bagaimana “orang Batta dapat dijadikan warga negara yang patuh”
(die Battäer zu gehorsamen Unterthanen zu machen)5. Antara lain ia memberi saran
agar Belanda jangan mengangkat seorang Batak menjadi kepala
pemerintahan karena hal itu akan dimanfaatkan untuk memberontak melawan
Belanda. Junghuhn menyarankan agar Belanda membiarkan keadaan asli tanpa
pemerintahan pusat karena hal
itu membantu menaklukkan orang Batak.
Menurut
Junghuhn daerah Batak lebih baik diperintah langsung oleh Belanda. Perlu
dicatat di sini bahwa Belanda pada umumnya lebih suka memerintahkan para
pribumi dengan memanfaatkan struktur pemerintahan yang sudah ada. Belanda
biasanya tidak suka bila bangsa pribumi diperintah langsung oleh pegawai
Belanda
karena
biayanya lebih tinggi. Namun demikian ternyata Belanda memperhatikan nasihat
Junghuhn sehingga daerah Batak menjadi salah satu dari tidak banyak wilayah di
Indonesia yang diperintah secara langsung.
Menurut
ukuran zamannya Junghuhn dapat digolongkan liberal. Ia amat kecewa melihat keadaan
tanah airnya: “Di Eropa kita lihat penderitaan, kemiskinan, kelaparan, penjara
penuh dengan penjahat, perbudakan yang dihalalkan oleh gereja, perampokan,
pembunuhan, ketidakpuasan rakyat terhadap penguasa, pergolakan berdarah,
penguasa yang takut pada rakyat –perang! –kapal dan benteng pertahanan
diledakkan, ribuan manusia dikorbankan dalam sedetik; orang saling mencurigai,
benci...” Junghuhn terutama menyalahkan gereja Kristen untuk keadaan Eropa yang
begitu menyedihkan. Sebagai seorang Freidenker dan panteis ia bersikap tidak
bersahabat pada agama Kristen dan menolak secara tegas upaya penginjilan di
Jawa.
Apa alasan
maka dalam Die Battaländer auf Sumatra Junghuhn yang sendiri anti-Kristen
menyarankan agar pemerintah kolonial memperkenalkan agama Kristen pada orang
Batak? Ternyata untuk “memperkenalkan agama kontra-Islam”
(Junghuhn,
1847a:119; 1847b:20 catatan kaki). Pencegahan masuknya agama Islam di Tanah
Batak merupakan “kebijakan yang teramat penting”. Agar cepat orang Batak masuk
Kristen dan jangan telanjur menjadi Islam maka ia tidak keberatan “bila
konversi pada agama Kristen hanya bersifat nominal”. (Junghuhn,1847b:83 catatan
kaki).
Dalam BAB 1
yang membahas ras dan asal-usul orang Batak, dan BAB 16.1 tentang watak, adat,
dan hukum Batak, Junghuhn tiba pada kesimpulan yang, ditinjau dari sudut
pandang abad ke-21, kedengaran sangat aneh. Ia melihat adanya kemiripan antara
bangsa Batak dan bangsa Eropa!
Tingkat
budaya orang Batak tidak dapat dikatakan rendah walaupun tentu masih jauh dari
bangsa-bangsa Eropa. Dari bentuk tengkorak maupun muka tampak bahwa orang Tobah
yang belum bercampur [dengan bangsa lain] tidak termasuk ras Melayu apalagi ras
Mongoloid. Tubuhnya menunjukkan kemiripan dengan ras hindu-kaukasus
(indo-eropa). Muka mereka oval dan harmonis dengan bentuk yang lebih indah
daripada orang Melayu. (Junghuhn, 1847a:275)
Warna kulit
yang cokelat cenderung menjadi putih, terutama pada perempuan
yang kulitnya biasanya sangat halus sehingga pipinya kelihatan
kemerah-merahan. Rambutnya tidak hitam melainkan, khusus,pada perempuan,
cokelat tua dan lebih halus daripada rambut orang Melayu atau orang Jawa,
hampir seperti sutera. Tubuhnya berotot dan proporsi tubuhnya seimbang.3” (ibid. hal. 7)
Anehnya
kemiripan dengan bangsa Eropa terutama ia dapatkan pada perempuan Batak!
Bentuk muka
oval yang dapat disebut sub-Yunani lebih sering dapat
ditemukan
pada perempuan Toba sementara laki-laki lebih cenderung
memiliki
wajah monyet Melayu yang jelek. (ibid.)
Pieter Johannes Veth
Uraian
Junghuhn menarik perhatian Pieter Johannes Veth(1814-
1895), guru
besar pada Universitas di Leiden dan pendiri Indisch Genootschap,yang sejak
1843 menjadianggota dewan pimpinan Nederlandsch Bijbelgenootschap (Lembaga
Alkitab Belanda)4.
Pada rapat tahunan NBG tahun 1847
Veth membacakan halaman 275 dari
buku Junghuhn Die Battaländer auf Sumatra kepada anggota-anggota
dewan NBG. Masih pada tahun yang sama NBG memutuskan
bahwa penginjilan orang Batak perlu dilaksanakan.
NBG langsung
memulai persiapan penginjilan dengan mempekerjakan Herman Neubronner van der
Tuuk(1824-1894), seorang ahli bahasa yang masih sangat muda, untuk meneliti
bahasa Batak dan untuk menerjemahkan kitab Injil. Van der Tuuk lahir di Melaka
dari seorang ayah berkebangsaan Belanda dan seorang ibu yang separuh
Jerman dan separuh Indo. Setahun sesudah Melaka menjadi wilayah Inggris sebagai
akibat Perjanjian London (1824) keluarga Van der Tuuk pindah ke Surabaya. Tahun
1836 Herman Neubronner van der Tuuk disekolahkan ke Belanda dan mulai tahun
1840 pada usia 16 tahun ia mulai kuliah hukum, di Groningen dan di Leiden.
Di sana ia juga mempelajari bahasa Arab, Farsi, dan Sansekerta.Kerena bakatnya
yang luar biasa –ia dikatakan bisa mempelajari sebuah bahasa dalam waktu hanya
tiga bulan –maka ia dipekerjakan oleh Nederlandsch Bijbelgenootschap untuk
meneliti bahasa-bahasa Batak, dan untuk menerjemahkan alkitab injil. Selama
berada di daerah Batak(1851-1857) Van der Tuuk menerjemahkan sebagian dari
alkitab injil ke dalam bahasa Toba, menyusun kamus
bahasa Batak
(Mandailing, Toba dan Pakpak) –Belanda, menyusun tata bahasa Toba yang menjadi
terkenal sebagai tata bahasa pertama yang ilmiah di Hindia
..................................
3Dabei verbleicht der braune Teint der Haut immer mehr, besonders bei den
Frauen, deren
Haut im Allgemeinen sehr zart ist, so daß selbst ein schwaches Rosenroth
der Backen hindurch schimmert. Dabei sind die Haare nicht schwarz, sondern
gewöhnlich, und bei den Frauen vorzugsweise, dunkelbraun und viel zarter,
seidenartiger, als bei den Maleien und Javanen. Der Körper ist wohlgebaut,
stark muskulös.
4NBG itu bukan lembaga zending dalam arti yang sebenarnya karena tidak
menyediakan zendelingen (penginjil) melainkan ahli bahasa untuk mempersiapkan
dan melaksanakan terjemahan alkitab.
Belanda, dan
sebuah kumpulan cerita rakyat dalam bahasa Toba, Mandailing, dan Pakpak.
Ketika
memutuskan untuk mempekerjakannya NBG sudah menyadari bahwa van der Tuuk adalah
seorang ateis namun di lain pihak NBG juga sadar akan kemampuan intelek Van derTuuk.
Walaupun Van der Tuuk kerap kali menghina para penginjil sebagai “pengobral
buku murahan” ia juga bersikap setia pada NBG sehingga ada dua pihak yang
bertolak belakang tetapi sekaligus juga saling melengkapi. Walaupun seorang
ateis, Van der Tuuk juga tiba pada kesimpulan yang sama dengan Junghuhn: Orang
Batak harus diinjilkan untuk membendung pengaruh Islam di bagian utara pulau
Sumatra.
Pada tanggal 23 Agustus 1856,waktu van der Tuuk sudah hampir selesai meneliti bahasa Batak , NBG mengirim surat kepada menteri urusan jajahan memberi tahu bahwa NBG telah mengadakan penelitianatas bahasa Batakdan hendak menyebarkan agama Kristen untuk menghiondari Agama Islamdapat masuk ke Tanah Batak Mengingat bahwa Agama Islam pada hakikatnyabersifat Anti Belandamaka pengkristenan orang Batak juga menjadi kepentingan Pemerintah,Oleh karena itu NBG meminta agar pemerintah Hindia Belanda jangan menggunakan huruf Arab dalam mata pelajaran bahasa Melayu. Mereka juga minta agar para pegawai negeri hendaknya diangkat dari kalangan Batak Kristen dan agar mereka berbahasa Batak dan bukan Bahasa Melayu di Kantor (Aritonang2005;110-111).
Tidak diketahui bagaimananpemerintah Hindia Belanda menanggapi surat itu,namun pemerintah itu mempunyaikepentingannya sendiri.Penggunaan bahasa Melayu sudah menyebar kemana-mana di Nusantara tentu lebih praktis ,dan mereka juga terikat pada kebijakan pemerintah yang mewajibkan pegawai pemerintah untuk bersikap netral dalam hal Agama. Namun demikian khususnya di Tanah Batak, pemerintah setempat cenderung bersikap mendukung para penginjil NBG.
Upaya
penginjilan di Tanah Batak dipelopori oleh Hermanus Willem Witteveen
(1815–1884)yang pada tahun 1859 mendirikan Jemaat Zending (Zendingsgemeente)
dan Gereja Zending (Zendingskerk) di Ermelo5. Seusai kebaktian pada tanggal 11 Desember 1853 seorang pemuda yang
seharian bekerja sebagai pengembala kambing mendatangi Pastor Witteveen karena
hendak menjadi penginjil (Groot 1984: 90). Suatu hari ketika pemuda yang
bernama Gerrit van Asselt (1832–1910)itu berada di ladang ia tiba-tia mendengar
Mazmur 96:2 “
Bernyanyilah
bagi Tuhan dan pujilah Dia; setiap hari siarkanlah kabar
gembira bahwa Ia telah menyelamatkan kita.” Beberapa
minggu kemudian ketika ia bangun tidur terdengar lagi suara Yesaya 60:1
“Bangkitlah, menjadi teranglah, sebab terangmu datang, dan kemuliaan Tuhan
terbit atasmu.” Pemuda setengah buta huruf itu lalu belajar pada Pastor
Witteveen. Ds Witteveen menghubungi Nederlandsche Zendelinggenootschap (NZG)
menanyakan apa von Asselt bisa menjadi tukang pada zending NZG. Akan tetapi
permintaan itu ditolak dengan alasan bahwa si Gerrit itu terlalu bodoh untuk
mempelajari bahasa asing.
Selain itu
van Asselt dianggap terlalu fanatik. Namun akhirnya Witteveen berhasil untuk
meyakinkan Persatuan Pendukung Zending Perempuan Amsterdam (Amsterdamsche
Vrouwenvereeniging tot bevordering der Zendingszaak) yang dipimpin oleh
Wilhelmina E. van Vollenhoven untuk menampung Van Asselt. Lalu Van Asselt
berangkat ke Amsterdam untuk belajar di seminaris. Ia belajar bahasa
Melayu dari
IsaäcEsser (1818–1885) yang dari 1861–1864 menjadi residen di Timor. Esser
sering mengadakan ceramah tentang Sumatra, antara lain dengan tujuan untuk
mencari uang buat Van Asselt. Esser menginginkan agar van Asselt menjadi
penginjil di Sumatra untuk “menaklukkan kerajaan Minangkabau untuk
Tuhan.” Pada
tahun 1856 Gerrit van Asselt mendampingi H.C. Klinkert (yang
...................................
5
Pastor Witteveen menjadi salah seorang pendiri Vrije Evangelische Gemeenten
(Jemaat Injil Bebas) di Belanda.
menerjemahkan
alkitab Injil ke dalam bahasa Belanda) ke Batavia. Setiba di sana ia minta izin
pada pemerintah untuk berangkat ke Sumatra Barat agar –sesuai dengan amanat
Esser–menyebarkan injil di ranah Minangkabau. Namun permintaannya ditolak
karena daerah itu sudah menjadi Islam, dan ia ditawari
gubernur
menjadi administrator perkebunan kopi di Sipirok sambil menyebarkan injil.6(Groot 1984: 91-93)
Sementara
ini ada tiga pemuda lainnya yang pernah bertemu dengan Esser ketika beliau
berceramah tentang Sumatra di muka “Persatuan Pemuda Pekerja” di Amsterdam.
Secara teratur ketiga tukang itu belajar pada Esser dan lalu mereka ditahbiskan
oleh Pastor Witteveen.Pada tahun
1859 Pastor Witteveen lalu mengutus ketiga pemuda itu, yaitu Friedrich Wilhelm
Betz (1832–1881), J. Dammerboer, dan J.Ph.D. Koster, untuk mendampingi van
Asselt di Sumatra. Ketika mereka bergabung dengan van Asselt di Sipirok maka
Van Asselt pun meninggalkan pekerjaan sebagai administrator kebun untuk bersama
dengan Betz membuka pos zending di Silindung. Namun permintaan Asselt ditolak
gubernur dengan alasan keamanan dan juga karena pemerinta
tidak berniat untuk memperluas pengaruhnya hingga ke Tanah Batak yang masih
merdeka. Lalu mereka memutuskan untuk memperluas kegiatan zending ke Angkola.
Betz bertugas di Bunga Bondar dari tahun 1860 hingga 18697sementara Dammerboer, Koster dan van Dalen (yang
ditahbiskan di Ermelo pada 21-10-186) membuka pos di Huta Rimbaru, dan
Pargarutan (Angkola) sementara Van Asselt
tetap di Parau Sorat (Sipirok). Dammerboer lalu memutuskan untuk meninggalkan
zending. (BRMG 1910:253-257) (Groot 1984: 93-94)
Pada tahun
1859 serikat penginjilan Rheinische Missionsgesellschaft yang berkedudukan di
Barmen (Wuppertal), Jerman, mengalami musibah. Sembilan penginjil RMG dibunuh
ketika Perang Banjar meletus di Kalimantan sementara penginjil yang lain
diamankan ke Pulau Jawa.Ketika itu Friedrich Fabri(1824-1891) menjadi Direktur
RMG (1857-1884).
Ketika Fabri
berkunjung ke Amsterdam untuk menjejaki kemungkinan untuk menempatkan para
misionaris yang sedang berada di Jawa di tempat yang lain.
Sewaktu
berada di kantor NBG Fabri melihat injil Yohanes hasil terjemahan Van der Tuuk.
Pada kunjungan itu Fabri juga bertemu langsung dengan van der Tuuk yang
................................
6Van der Tuuk sangat terkejut mendengar bahwa zending Batak diprakarsai oleh
Van Asselt yang dianggapnya kampungan dan secara intelek tidak mampu menangani
tugas yang sedemikian berat.
7Christian Philip Schütz (1838–1922) menjadi pengganti Betz di Bunga Bondar
dari tahun 1868 hingga ia pensiun pada tahun 1912. Bertugas selama 44 tahun
Schütz hanya sekali berlibur ke Jerman (1893–1895).
pada saat
itu sedang berada di Amsterdam. Lalu pihak RMG menghubungi Domine Witteveen
untuk menjejaki kerjasama antara Zendingskerk Ermelo dengan RMG.
Hermanus Willem Witteveen
Setelah
dirundingkan dengan Pastor Witteveen maka diputuskan bahwa ketiga
misionaris
dari Domine Witteveen yang sudah ada di Sumatra, yaitu van Asselt, Betz, dan
Dammerboer selanjutnya
dipekerjakan oleh RMG dan diperbantukan oleh tiga
misionaris dari Kalimantan, Karl Klammer, Carl Wilhelm Heine, dan Ernst Ludwig
Denninger. Pada 7 Oktober 1861 empat penginjil, yaitu Van Asselt, Betz,Heine
dan Klammer (Dammerboer sudah meninggalkan zending sedangkan Denninger masih
berada di Padang) mengadakan pertemuan untuk membicarakan kelanjutan
penginjilan di Tanah Batak. Betz ditempati di Bunga Bondar, Klammer di Sipirok,
dan Van Asselt bersama Heine membuka pos baru di Pangaloan. Tanggal 7-10-1861
kini dianggap sebagai hari jadi Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).Tidak lama
kemudian L.I. Nommensen bergabung dengan mereka. Awalnya Nommensen ditempatkan
di Barus dan dari situ ia berangkat ke Angkola untuk bergabung dengan keempat
penginjil yang sudah berada di sana.
Misi di daerah-daerah selatan (pos zending
di Sipirok, Bunga Bondar, Prau Sorat) berada di wilayah pemerintah kolonial
Belanda. Pada awalnya pemerintahan belum stabil, tetapi mulai tahun 1875 sudah
ada seorang kontrolir berkebangsaan Belanda. Pada awal kedatangan para
penginjil masih belum banyak orang yang menganut
agama Islam dan terutama pada periode sekitar 1867–1871 ada
kemajuan yang pesat di daerah selatan sehingga pada tahun 1871 telah ada hampir
700 orang yang menganutagama Kristen. Pada tahun-tahun berikut tidak ada lagi
kemajuan yang berarti. Tahun 1873 tidak ada lagi pertumbuhan di Bungabondar
karena hampir seluruh penduduk telah memeluk agama Islam kecuali 308 orang
yang memilih agama Kristen (JB 1873:27). Keadaan
yang sama
juga dilaporkan dari Sipirok dan Parausorat (JB 1874:12).
Ludwig
Ingwer Nommensen
L.I.
Nommensen
(kadang-kadang
namanya juga ditulis I. L. Nommensen) dilahirkan pada 6 Februari 1834 di
Nordstrand, wilayah Schleswig yang pada masa itu menjadi bagian dari Kerajaan
Denmark.
Setelah
mengalami kecelakaan ketika berusia 12 tahun ia berjanji akan menjadi
penginjil. Ia diterima di seminaris RMG di Wuppertal-
Barmen
(1857–1861) dan setelah tamat Nommensen langsung pergi
ke Belanda
untuk naik kapal ke Sumatra bertepatan dengan malam Natal 1861. Di Amsterdam,
Nommensen masih sempat belajar bahasa Batak pada H.N. van der Tuuk yang pada
saat itu sedang
berada di
Belanda.L. I. Nommensen umumnya dianggap sebagai salah seorang misionaris
yang paling berhasil. Pada tahun kematiannya gereja Batak Toba Huria Kristen
Batak Protestant
memiliki
500 paroki dengan 180.000 jemaah, 34 pastor (pandita Batak), hampir 800 guru
dan lebih dari 2.000 Sintua. Tahun 1940
HKBP
menjadi mandiri, 1948 menjadi anggota Dewan Oikumene (Ö
kumenischerRat
der Kirchen), dan 1952 menjadi anggota Serikat Dunia Luther (Lutheranischer
Weltbund). Dengan jumlah jemaah sekitar 2,5 juta HKPB menjadi gereja terbesar
di Asia Tenggara. Atas jasanya tahun 1904 Nommensen memperoleh gelar doktor
honoris causa dari Universitas Bonn, dan tahun 1911 ia memperoleh
penghargaan
Kerajaan Belanda dengan menjadi Officier
8Ordo Oranye-Nassau. Kini nama
Nommensen terlupakan oleh orang Jerman. Hal itu terutama disebabkan bahwa
malahan dalam lingkungan gereja upaya penginjilan sering dianggap sebagai
tindakan pemaksaan terhadap bangsa-bangsa “berwarna” dalam konteks
imperialisme kolonial.
Dalam Pengakuan
Bersalah (Schuldbekenntnis) tertanggal 27-9-
1971
secara resmi Vereinigte Evangelische Mission, (VEM) sebagai pengganti RMG
mengakui: “Kami terlalu sering menyerah pada
godaan
bersekongkolan dengan para penguasa sekuler dengan mengorbankan saudara dan
saudari pribumi.”9
|
Sejak awal sekali para misionaris
sebetulnya menargetkan daerah Toba dan Silindung yang padat penduduk. Tahun
1861, segera sesudah dikirim ke Sumatra, Nommensen mengadakan perjalanan ke
daerah Toba dan disambut dengan baik, namun pemerintah melarangnya untuk
menetap di sana.
Pemerintah tidak bersikap anti-zending dan malahan sangat
mendukung upaya penginjilan, tetapi para penguasa takut bahwa kehadiran
misionaris akan mengakibatkan adanya pemberontakan sebagaimana terjadi di Kalimantan
tahun 1859 (Perang Banjar).
Karena tidak
dapat menetap di Toba terpaksa Nommensen ditempatkan dulu di Parausorat. Pada
November 1863 ia mengadakan perjalanan ke Silindung untuk melacak kemungkinan
akan diterima di sana, namun sambutan penduduk tidak
begitu
hangat: “Mereka mengemukakan kekhawatiran (yang memang bukan tidak beralasan)
bahwa apabila sudah ada guru asal Eropa yangmenetap di antaranya hal itu pasti
akan berujung pada aneksasi tanah mereka ke dalam wilayah pemerintah Belanda.”
(JB 1863:46)
Baru pada
bulan Mei tahun 1864 Nommensen, dengan bantuan raja Pontas Lumbantobing, pindah
ke lembah Silindung. Walaupun mendapatkan perlawanan yang hebat dari penduduk,
ia berhasil membaptis beberapa keluarga di bulan Agustus 1865. Setahun kemudian
Nommensen didampingi oleh Peter Hinrich Johannsen (1839-1898) yang juga berasal
dari Schleswig (tempat kelahiran Johannsen, Weddingstedt di Holstein, tidak
jauh dari kampung halaman
........................
8Penghargaan tersebut ada enam tingkatan. Penghargaan yang tertinggi adalah
Ridder Grootkruis, diikuti oleh Grootofficier, Commandeur, Officier, Ridder,
dan Lid.
9“Wir bekennen, daß wir oftmals der Versuchung erlegen sind, mit den
weltlichen Machthabern auf Kosten unserer einheimischen Brüder und Schwestern
zusammenzuarbeiten”. Dikutip dari majalah Vereinte Evangelischen Mission In die
Welt -für die WeltNo. 12/1971, hal. 13).
Nommensen).
Beliau yang antara lain terkenal karena menerjemahkan alkitab ke dalam bahasa
Batak, mendirikan pos zending yang baru di Pansur na Pitu (1867) dan menjadi
misionaris dan guru di sana hingga ia meninggal pada tahun 1898.
Walaupun RMG
mengalami kesulitan dalam soal keuangan, penginjilan di Silindung mereka
prioritaskan dengan menambahkan pos-pos zending baru di Sipoholon (1870),
Simorangkir (1875), dan Bahal Batu (1876). Jumlah orang Kristen, walaupun masih
minoritas, berkembang dengan pesat dan pada tahun 1870an golongan Batak Kristen
di Silindung sudah cukup besar untuk menjadi kekuatan sosial dan politik.
Mulai tahun
1830 Belanda memutuskan untuk tidak lagi memperluas wilayah kekuasaan di
Indones ia. Alasannya karena daerah di luar Jawa akan kurang menguntungkan bagi
negara Belanda, dan juga karena administrasi kolonial tidak sanggup memerintah
seluruh Nusantara yang luasnya lebih dari empat puluh kali lipat negara
induknya. Oleh sebab itu wilayah jajahan Belanda di Nusantara
dibatasi
pada Pulau Jawa, Ambon serta beberapa daerah di Sumatra. Masih pada tahun 1861
menteri untuk urusan penjajahan (minister van koloniën) mengatakan bahwa tiap
upaya perluasan wilayah berarti “suatu langkah lagi menuju kehancuran kita”10
. Kebijakan
onthoudingspolitiek(politik tidak campur tangan) itu baru mulai ditinggal pada
tahun 1870an sehingga pada tahun 1907 hampir semua wilayah di Nusantara sudah
menjadi bagian dari Hindia Belanda.Suatu peristiwa yang sangat pentinguntuk
sejarah Sumatra bagian utara adalah pembukaan terusan Suez pada tahun 1869.
Sebelum terusan Suez dibuka kepulauan Indonesia dicapai melalui Selat Sunda
dari Afrika. Dari terusan Suez, laluan ke Indonesia, dan juga ke Singapura yang
dikuasai Inggris,lebih pendek
melalui
Selat Melaka. Inggris yang merasa terganggu oleh pembajak laut di perairan Aceh
membatalkan Perjanjian Sumatra 1824 yang menjamin kedaulatan Aceh dan
menandatangani Perjanjian Sumatra 1871 yang memberi Belanda keleluasaan untuk
berdagang di seluruh Sumatra termasuk Aceh sementara Belanda berjanji untuk
menjamin keamanan di Selat Melaka. Akibat Perjanjian Sumatra, Aceh mengadakan
hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika Serikat,
Kerajaan
Italia, Kesultanan Usmaniyah (Turki) di Singapura yang pada
giliran dijadikan alasan Belanda untuk menyerang Aceh.
Kehadiran
para zendeling di Tanah Batak tentu tidak disetujui oleh Singamangaraja
XII yang menggantikan ayahnya pada tahun 1867 apalagi setelah mereka mengundang
Gubernur Pantai Barat Sumatra Arriens
menjelang Natal
...............................
10“een schrede nader tot onze ondergang
1868. Pada
kesempatan itu para misionaris menekankan kepada gubernur bahwa mereka akan
menyambut baik aneksasi Tanah Batak demi adanya pemerintah yang menjalankan
hukum dan keadilan (Recht und Gerechtigkeit) (BRMG 1869:300, BRMG 1871:142-3)
. Misionaris
Johannsen malah menganggap Arriens sebagai “sungguh
-sungguh
wakil Allah yang untuk membawa kesenangan bagi
Silindung”11
.
Tentu
Singamangaraja merasa kedaulatannya diingkari dengan kedatangan pembesar
Belanda ke dalam wilayah kekuasaan
Singamangaraja tetapi ternyata tidak ada reaksi apa-apa mungkin karena beliau
masih muda dan belum cukup berpengalaman.
Pecahnya
Perang Aceh di tahun 1873 mengubah peta politik Sumatra. Belanda yang
mengharapkan kemenangan yang gilang-gemilang
ternyata dipukul balik oleh pasukan Aceh dan sang pemimpin pasukan Belanda
Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler
tewas. Pada ekspedisi berikut tahun 1874 Belanda berhasil menduduki Banda Aceh
sementara orang Aceh tetap memerangi Belanda dengan strategi gerilya.
Dalam upaya untuk mencari sekutu melawan Belanda orang
Aceh ternyata juga menghubungi Singamangaraja dan pada tahun 1877 dilaporkan
bahwa ada sejumlah orang Aceh di Tanah Batak. Pada waktu itu Singamangaraja
sudah memutuskan untuk menjalin kerjasama denganAceh dan untuk mengusir para misionaris
yang dianggap sebagai pelopor kekuasaan Belanda. memberi perintahagar para misionaris harus meninggalkan wilayahnya.
Pada bulan
Januari 1878 para misionaris diperintahkan untuk segera
meninggalkan
wilayah Singamangaraja. Karena merasa terancam para misionaris meminta bantuan
tentara Belanda, dan pada gilirannya mereka juga membantu tentara Belanda:
Ekspedisi itu sangat berhasil dan
berlangsung dengan sangat cepat pula –dari awal Februari hingga akhir Maret.
Eksped isi itu begitu luar biasa berhasil karena Silindung menjadi pangkalan
yang sangat aman [bagi tentara Belanda], dan karena tentara dipandu dan
dinasihati oleh para misionaris yang sangat mengetahui masyarakat Batak dan
daerahnya.
Dukungan dan bantuan para misionaris
yang ikut pada ekspedisi itu juga mempunyai tujuan yang satu lagi, yaitu untuk
meyakinkan masyarakat bahwa perlawanan mereka sia-sia dan supaya sebaiknya
mereka menyerah. (JB 1878:31)
................................
11ImmanuelFebruari 1894 (dikutip dari Aritonang 1988:160)
0 komentar:
Posting Komentar