English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Senin, 14 Februari 2011

0
Politik menghalalkan semua cara


Kepentingan Politik mampu merobah sejarah meskipun disuatu masa akan ada yang meluruskannya.
Salah satu bukti sejarah Pemeberontakan Komunis pada tahun 1965, dimana sempat generasi muda berkeyakinan Film G30s adalah kisah sebenarnya dari peristiwa tersebut.

Hasil Visum G30S di Indoleaks Bukan Temuan Baru
Siswa siswi SMAN 9 Bandung nonton bareng film Pengkhianatan G30S PKI, di Gedung Indonesia Menggugat. TEMPO/Prima Mulia
TEMPO Interaktif, Jakarta – Sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam mengatakan hasil visum korban Pemberontakan Gerakan 30 September 1965 (G30S) yang dibocorkan oleh situs Indoleaks.com bukanlah temuan baru. “Itu sudah pernah ditulis oleh Benedict Anderson dalam Jurnal Indonesia,” ujarnya saat dihubungi Tempo, Senin 13 Desember 2010 kemarin.
Menurut Asvi, dokumen yang dibocorkan itu hanya sebagian dari sebelas dokumen korban peristiwa itu. Asvi sendiri mengaku pernah melihat semua dokumen yang ada. “Saya pernah lihat, tapi tidak hafal satu-persatu,” ujarnya. Dokumen hasil visum tersebut juga dimiliki oleh seorang peneliti Indonesia asal Amerika, Benedict Anderson. “Dia pernah mengupas tuntas dokumen ini dalam tulisannya di Jurnal Insonesia edisi April 1987,” ujar Asvi.
Sebelumnya, situs Indoleaks menyebarkan empat dokumen hasil visum korban peristiwa 30 September 1965. Keempat dokumen yang dikeluarkan oleh Direktorat Rumah Sakit Departemen Angkatan Darat tersebut, dibuat pada tanggal 4 dan 5 Oktober 1965. Dalam kesimpulannya, keempat dokumen itu menyatakan bahwa jenazah ditemukan sudah dalam kondisi membusuk. Hal ini dikarenakan keempat korban diduga telah meninggal empat hingga lima hari sebelumnya.
Selain itu, dalam dokumen ini juga dinyatakan bahwa rata-rata korban mengalami luka tembak di sekujur tubuhnya. Sayangnya, dalam dokumen yang disebarkan Indoleaks tersebut data identitas jenazah ditutupi. Misalnya dalam dokumen visum pertama, kolom nama, pangkat dan jabatannya ditutupi kotak hitam. Dalam kolom identitas hanya terlihat umur, 43 tahun, jenis kelamin lak-laiki, agama Islam dan kebangsaaan Indonesia. Dalam dokumen itu juga disebutkan terdapat 10 luka tembak di sekujur tubuhnya.
Dalam dokumen kedua, kolom identitas yang dapat terlihat hanya agamanya yakni Islam dan kebangsaaan Indonesia. Jenazah kedua ini diketahui mengenakan sebuah kemeja tangan panjang bercorak kotak-kotak berwarna hitam-coklat. Kemeja tersebut bermerk o’Kennedy. Dokumen ini menyebutkan, jenazah ditutupi kepalanya dengan kain sarung. Hasil otopsi menyebutkan bahwa di tubuh jenazah ditemukan 11 luka tembak dan beberapa tulang yang retak karena hantaman benda tumpul.
Dokumen hasil visum ketiga menyebutkan bahwa korban berjenis kelamin laki-laki dan beragama Islam. Jenazah dikenali dari cincin yang dikenakannya dan sejumlah dokumen seperti SIM dan juga kartu tanda anggota tentara. Di cincin itu bertuliskan SPM. Jenazah ketiga ini mengalami lima luka tembak, tiga diantaranya dibagian kepala. Selain itu jenazah ini juga diketahui mengalami hantaman benda tumpul di bagian kepalanya.
Dalam dokumen terakhir, Hanya jenis kelamin dan kebangsaan yang tidak ditutupi. Hasil otopsi menunjukkan, korban mengalami hantaman benda tumpul dibagian kepalanya dan empat luka tembak.
Indoleaks
Jakarta – Dalam catatan sejarah Orde Baru terkait peristiwa G30S PKI, Letjen S Parman termasuk dalam 4 jenderal yang disiksa sadis sebelum gugur di Lubang Buaya. Penyiksaan sadis ini termasuk disilet dan dipotong alat kelaminnya. Sementara, dokumen visum yang dirilis Indoleaks hanya mengkonfirmasi luka tembak dan patah tulang.
Dokumen visum yang dirilis Indoleaks, Senin (13/12/2010) adalah hasil visum 5 dokter RSPAD yaitu dr Roebino Kertopati, dr Frans Pattiasina, dr Sutomo Tjokronegoro, dr Liaw Yan Siang, dr Lim Joe Thay, pada 5 Oktober 1965. Dokumen ini bercap Panitera Mahkamah Militer Luar Biasa, diduga dari sinilah dokumen itu diperoleh.
Salah satu dokumen visum, yang juga ditutup identitasnya, diduga kuat adalah milik Letjen TNI Anumerta S Parman. Deskripsi luka-lukanya sama dengan keterangan visum Letjen S Parman yang pernah disebutkan dalam makalah pakar politik Indonesia dari Cornell University, AS, Ben Anderson, pada jurnal ‘Indonesia’ edisi April 1987.
Jenazah S Parman ditemukan dengan kondisi busuk karena diduga sudah tewas 4 hari sebelumnya. Namun jenazah dikenali oleh Perwira Kesdam Jaya dr Kol CDM Abdullah Hasan. Selain itu bukti-bukti dikuatkan dengan SIM, foto di dompet, seragam TNI AD dan cincin dengan inisial namanya SPM atau S Parman.
S Parman dalam catatan sejarah Orde Baru, mengalami penyiksaan paling sadis seperti Letjen R Soeprapto, Mayjen Soetoyo dan Lettu Pierre Tendean. Mereka antara lain disilet, disundut, bahkan sampai dipotong alat kelaminnya. Namun hal itu tidak terbukti dalam dokumen visum yang ditandatangani 5 dokter RSPAD itu.
S Parman diduga kuat gugur akibat 3 luka tembak di kepala. Dia juga mendapat dua luka tembak lain di paha dan pantat.
Dia juga mengalami patah tulang di kepala, rahang dan tungkai kiri. Namun, luka ini diduga akibat dijatuhkan ke dalam sumur Lubang Buaya. Luka lain yang disebutkan oleh pemerintah Orde Baru, tidak terbukti.
Jakarta – Kisah sadis menyertai peristiwa G30S PKI dalam sejarah yang dicatat Orde Baru. Letjen Anumerta R Soeprapto misalnya, disebut disilet-silet dan dipotong alat kelaminnya. Namun sebuah dokumen visum yang dirilis situs whistle blower Indoleaks, menunjukkan hal yang berbeda.
Dari situs resminya, Senin (13/12/2010), ada lagi sebuah dokumen visum yang dibuat oleh 4 dokter RSPAD yaitu dr Roebino Kertopati, dr Frans Pattiasina, dr Sutomo Tjokronegoro, dr Liaw Yan Siang, dr Lim Joe Thay, pada 5 Oktober 1965. Bagian nama, tempat tanggal lahir, pangkat, jabatan dan alamat sengaja dihitamkan.
Namun, dari deskripsi luka, diduga kuat adalah dokumen visum Letjen TNI Anumerta R Soeprapto. Data pembandingnya adalah keterangan visum Letjen R Soeprapto yang pernah disebutkan dalam makalah pakar politik Indonesia dari Cornell University, AS, Ben Anderson, pada jurnal ‘Indonesia’ edisi April 1987. Ada kain sarung dan kemeja yang melekat pada korban.
Ada beberapa persamaan dan banyak juga perbedaan antara luka Letjen Soeprapto versi Orde Baru dan dokumen visum yang asli. Berbeda dengan Ahmad Yani, Soeprapto masih hidup saat diculik dari rumahnya. Dia baru gugur di Lubang Buaya.
Dalam versi Orde Baru dan juga dilansir Harian Berita Yudha 9 Oktober 1965, wajah dan tulang kepala Soeprapto remuk namun masih dapat diidentifikasi. Hasil visum juga menunjukkan kalau ada luka dan pukulan benda tumpul yang menyebabkan patah tulang di bagian kepala dan muka.
Nah, justru perbedaannya yang mencolok. Versi TNI menyebutkan ada pengakuan anggota Gerwani, bahwa mereka menyilet-nyilet korban, bahkan memotong alat kelamin korban. Namun, rupanya dalam dokumen yang diungkap Indoleaks, hal itu tidak terbukti.
Laporan visum untuk Soeprapto, selain patah tulang tengkorak di enam titik, adalah patah tulang di betis kanan dan paha kanan. Luka benda tumpul diduga batu atau popor senapan. Soeprapto memang mengalami 3 luka tusuk, namun dari bayonet dan bukan silet.
Soeprapto juga gugur akibat 11 luka tembak di berbagai bagian tubuh. Selain itu tidak ada luka lagi. Tidak ada bukti penyiletan apalagi mutilasi alat kelamin. Pembunuhan Letjen Soeprapto tentu saja tragis, namun tidak sesadis yang dijabarkan dalam catatan sejarah versi Orde Baru.
Sebelumnya, dokumen visum Ahmad Yani yang dirilis Indoleaks juga hanya menyebutkan luka tembak. Padahal Orde Baru mencatat kalau PKI mencungkil mata Pahlawan Revolusi itu.
Jakarta – Anak DN Aidit, Ilham Aidit meminta agar sejarah G30/S ditulis lengkap dan tak diungkap sepotong-sepotong. Hal ini agar rekonsiliasi yang terjadi tak dinilai semu.
“Saya selalu ingin mengajak agar peristiwa itu ditulis secara lebih lengkap. Peristiwa itu panjang. Namun sejarah tidak pernah mencatat, setelah peristiwa G30/S PKI itu ratusan ribu orang terbunuh. Ribuan orang dibuang ke Pulau Buru, dan ribuan lagi tidak bisa kembali ke negaranya. Kami minta dicatat secara lengkap untuk pembelajaran apa yang telah terjadi,” ujar Ilham Aidit.
Hal itu disampaikan Ilham dalam acara Silaturahmi Nasional di Gedung Nusantara III DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Jumat (1/10/2010).
Sejarah yang ditulis utuh itu nantinya akan menjadi pembelajaran bagi para generasi muda Indonesia. Juga menunjukkan agar rekonsiliasi itu tidak semu.
“Rekonsiliasi ini jangan hanya rekonsiliasi semu, karena hasilnya pun akan semu. Rekonsiliasi membuktikann sifat kesatria dan jiwa besar yang harus kita wariskan pada generasi berikutnya,” kata dia.
Simpan Nama Aidit
Semasa kecil, Ilham berkisah, mempunyai kenangan yang tak enak berkaitan dengan ayahnya. DN Aidit sebagai Ketua Central Committee Partai Komunis Indonesia (CC PKI), dianggap sebagai musuh negara sejak tahun 1965 itu. Tak pelak, hal ini membuatnya takut menyematkan nama Aidit di belakang namanya.
“Ketika saya kecil, waktu itu usia saya 6 tahun, setelah peristiwa G30/S PKI tiba-tiba saya ingin keluar rumah. Tiba-tiba saya lihat ada tulisan besar di dinding, ‘Gantung Aidit, Bubarkan PKI’. Saya terkejut. Karena beberapa waktu lalu saya masih lihat bapak saya berpidato di Istora,” kisah Aidit.
Dirinya lantas mengetahui hidupnya akan dipenuhi masa-masa sulit. Banyak kawan-kawannya yang meledek ayahnya hingga membuatnya menjadi jago berkelahi karena ledekan itu.
“Tiap ada orang yang meledek saya lawan. Tiap ada yang menghina ayah saya, saya lawan. Akhirnya seorang pastor menasihati saya. Dia bilang ‘Nilai kamu bagus, tapi kamu tidak akan lulus kalau kamu terus berkelahi’. Saya pun tidak pernah lagi menggunakan nama Aidit, di belakang nama saya,” celotehnya.
Sejak saat itu, tiap menulis nama Ilham, tangannya berhenti sejenak. Nama Aidit yang biasanya ditulisnya, kini harus mulai disimpannya rapat-rapat.
“Karena biasanya saya menggunakan nama itu. Tapi saya harus berhenti menggunakannya. Sampai umur 44 tahun saya tidak menggunakan nama Aidit di belakang nama saya,” jelasnya.
Hingga di tahun 2003 dalam forum Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB), nama Ilham dipanggil lengkap, disandingkan dengan nama ayahnya, Aidit.
“Saya dipanggil kembali dan nama saya disandingkan, Ilham Aidit. Dan saya ternyata masih duduk di situ. Berarti ini tidak apa-apa,” tandas Ilham yang memakai batik coklat lengan panjang.

0 komentar:

Posting Komentar

 
TtuaPardede | © 2010 by DheTemplate.com | Supported by Promotions And Coupons Shopping & WordPress Theme 2 Blog